Liputan6.com, Jakarta - Mangrove Festival (Mangrofest) 2025 resmi dimulai dari Taman Nasional Alas Purwo pada Rabu, 30 Juli 2025. Itu adalah rangkaian acara dari proyek Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) yang menjadi momentum konsolidasi nasional berbagai pihak dalam mendorong rehabilitasi mangrove secara berkelanjutan serta menguatkan transisi menuju gaya hidup rendah emisi.
Wamen Kehutanan Sulaiman Umar Siddiq menerangkan pemilihan Alas Purwo yang berada di ujung timur Banyuwangi itu lantaran memiliki ekosistem mangrove yang penting. Dari total luasan 44 ribu hektare, ada 1.100 hektare lahan di TN Alas Purwo yang merupakan kawasan hutan mangrove.
"Memang lokasinya memiliki ekosistem mangrove yang penting, kemudian juga representatif dari lanskap pesisir pantainya, vegetasi tanaman mangrovenya juga bervariasi," katanya di Banyuwangi, kemarin.
Acara itu sekaligus menandai penanaman 41 ribu hektare hutan mangrove dengan kondisi rusak di empat provinsi, yakni Kalimatan Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Riau, hingga 2027. Proses penanaman sudah dimulai sejak 2024 dengan sekitar 13 ribu hektare lahan ditanami.
Program itu didanai oleh Bank Dunia senilai sekitar USD 171 juta berbentuk pinjaman. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH), Dyah Murtiningsih, pinjaman itu nanti akan dibayar lewat dampak yang dihasilkan dari penanaman, seperti penyerapan emisi karbon.
Pendukung Utama Ekosistem Pesisir
Sulaiman menekankan bahwa keberadaan mangrove penting bagi kelangsungan ekosistem pesisir. Terlebih, Indonesia memiliki ekosistem mangrove terbesar di dunia.
"Kurang lebih ada 3,4 juta hektare... Ekosistem mangrove di Indonesia itu sekitar 23 persen (dari total luasan mangrove dunia). Ini yang kita perlu sama-sama untuk menjaga kelestariannya," ujar Sulaiman.
Pelestarian mangrove di dalamnya termasuk adalah merehabilitasi kawasan, bukan sekadar menanam. Ia menyatakan bahwa ke depan pihaknya akan menggunakan teknologi untuk memastikan tanaman mangrove bisa tumbuh berkembang dan mengakar kuat untuk membantu mencegah abrasi dan bermanfaat ekonomi bagi masyarakat sekitarnya.
"Misalnya menggunakan metode pasang surut seperti tadi. Jadi, ada teknik-teknik khusus supaya mangrove ini bisa berkembang baik, tumbuh dengan baik," katanya.
Dirjen PDASRH Dyah Murtiningsih menambahkan bahwa ekosistem mangrove juga berperan penting sebagai benteng iklim. "Mangrove ini mempunyai tugas ataupun kapasitas untuk penyerapan karbonnya itu 4--5 kali lebih tinggi daripada yang ada di kawasan terestrial," katanya.
Pelibatan Masyarakat Sekitar
Dyah mengatakan bahwa pengelolaan kawasan mangrove tidak akan dilepaskan dari keberadaan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar. Mereka berperan sebagai barrier dan bagian sangat penting dari siklus atau hubungan timbal balik antara keberadaan kawasan hutan dan juga masyarakat.
"Pada saat kita melakukan kegiatan rehabilitasi itu, harus berbasis masyarakat sehingga ada kepedulian, ada awareness dari masyarakat itu sendiri bahwa memang ekosistem mangrove itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri," jelasnya.
Kepedulian dimunculkan salah satunya lewat pemberdayaan masyarakat. Mereka bisa memanfaatkan hasil-hasil hutan non-kayu untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Itu sudah mulai diterapkan di berbagai lokasi dengan berbagai produk yang dihasilkan.
"Ada sabun, ada batik, ada sirup, kemudian pewarnaan, kemudian juga obat-obatan, untuk skincare misalnya, itu juga ada," ujar Dyah.
Selain masyarakat, Kementerian Kehutanan juga menggandeng banyak pihak lain untuk terlibat, termasuk Kemenko Pangan, Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah daerah, dan komunitas yang pada saat peluncuran acara diwakili komunitas motor listrik Elders Elettrico. Mereka tidak hanya diajak menanam mangrove, tetapi juga menyusuri savana Sadengan hingga melepas tukik di Pantai Trianggulasi.
Apa yang Terjadi Setelah Kerja Sama dengan Bank Dunia Berakhir?
Secara umum, kata Dyah, total luasan lahan hutan mangrove yang rusak di Indonesia sekitar 8--10 persen. Itu belum termasuk kawasan mangrove di luar hutan yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jika nanti program Mangrofest berakhir pada 2027 seiring berakhirnya pendanaan dari Bank Dunia, apa yang akan terjadi dengan program rehabilitasi mangrove di Indonesia?
"Indonesia komitmen untuk memperbaiki mangrove-mangrove yang kondisinya rusak... Komitmen ini ke depan akan tentu saja kita akan terus melakukan kegiatan rehabilitasi pada lokasi-lokasi yang rusak tadi, baik bersumber dari APBN, atau kita juga banyak kerja sama dengan luar negeri, dengan ada Norway, ada negara-negara donor yang lain," tutur Dyah.
Pendanaan untuk rehabilitasi mangrove juga semestinya disediakan oleh pemerintah daerah melalui APBD. Sumber pendanaan yang tak kalah penting lainnya adalah dari masyarakat dan swasta secara sukarela.
"Jadi, kita optimistis bahwa mangrove atau Indonesia akan hutannya, baik hutan mangrove maupun hutan yang ada saat ini ke depan akan semakin baik lagi," ucapnya.