Liputan6.com, Jakarta Indonesia adalah negeri yang kaya akan kuliner tradisional. Dari Sabang hingga Merauke, setiap daerah memiliki keunikan cita rasa yang lahir dari budaya dan kearifan lokal. Namun, di balik keragaman tersebut, ada banyak kuliner daerah yang keberadaannya perlahan memudar, termasuk di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Toraja bukan hanya terkenal dengan adat istiadatnya yang sakral, tapi juga memiliki ragam kuliner khas yang unik. Ciri khasnya terletak pada penggunaan bahan-bahan alami dari alam sekitar, seperti daun mayana, cabai katokkon, hingga pamarasan yang menyerupai kluwek. Sayangnya, sejumlah kuliner Toraja tradisional yang mulai langka kini hanya bisa ditemukan dalam upacara adat atau pada momen tertentu.
Bagi wisatawan, mencicipi kuliner Toraja ibarat sebuah perjalanan rasa yang menyatu dengan keindahan alam dan budaya masyarakatnya. Setiap suapan menghadirkan kesederhanaan sekaligus keaslian, seakan membawa kita kembali ke akar tradisi leluhur. Berikut ulasan beberapa kuliner Toraja tradisional yang mulai langka namun tetap memikat dari Liputan6.com, Kamis (11/9/2025).
1. Pa’piong: Sajian dari Bambu yang Mendunia
Pa’piong adalah salah satu kuliner Toraja paling terkenal, namun ironisnya semakin sulit ditemukan dalam keseharian masyarakat modern. Masakan ini dimasak di dalam bambu, lalu dipanggang di bara api sehingga menghasilkan aroma harum yang khas. Isinya bisa berupa daging ayam, babi, ikan, atau bahkan nasi yang dicampur dengan sayuran seperti daun mayana atau burak (pohon pisang muda).
Teknik memasak dalam bambu inilah yang membuat pa’piong istimewa. Rasa daging berpadu dengan aroma bambu dan rempah sederhana menghasilkan sensasi otentik yang sulit ditiru. Dahulu, pa’piong selalu hadir dalam upacara adat, tetapi kini lebih sering hanya bisa ditemukan saat festival budaya.
2. Pantollo Pamarrasan: Hitam, Pedas, dan Menggugah Selera
Pantollo pamarrasan adalah kuliner berbahan dasar pamarasan atau kluwek hitam. Cita rasanya gurih dengan sentuhan pahit khas kluwek. Biasanya, masakan ini dibuat dengan daging babi, ikan, belut, atau kerbau, ditambah cabai katokkon—cabe kecil khas Toraja yang sangat pedas.
Di Toraja, pantollo pamarrasan disebut juga pangi. Dahulu, menu ini merupakan santapan wajib dalam ritual adat. Kini, keberadaannya mulai jarang ditemui di luar acara tradisi, sehingga menjadi salah satu kuliner Toraja tradisional yang mulai langka.
3. Dangkot (Daging Kot'te): Pedas Gurih dari Daging Bebek
Dangkot atau daging kot’te adalah hidangan berbahan dasar daging bebek yang dimasak dengan rempah lengkap: cabai rawit, jahe, kunyit, sereh, hingga lengkuas. Rasanya pedas gurih, cocok dengan lidah masyarakat Toraja yang menyukai masakan berbumbu kuat.
Selain enak, dangkot dipercaya baik untuk kesehatan karena kandungan protein, vitamin B-12, dan fosfor dalam daging bebek. Sayangnya, kuliner ini semakin sulit dijumpai, kecuali jika kita berkunjung langsung ke desa-desa Toraja.
4. Kapurung: Sagu yang Menyegarkan
Kapurung adalah makanan berkuah berbahan dasar sagu. Sagu yang disiram air panas dibentuk menjadi bulatan kecil seperti bakso, lalu dicampur dengan sayuran, jagung, ikan, atau udang. Kuahnya segar dan kaya nutrisi, sehingga sering dianggap sebagai kuliner sehat.
Meski masih ada beberapa masyarakat Toraja yang membuat kapurung, hidangan ini mulai tergeser oleh makanan modern berbahan nasi. Padahal, kapurung mencerminkan tradisi pangan lokal yang ramah lingkungan dan bergizi tinggi.
5. Deppa Tori: Camilan Manis yang Mulai Jarang Ditemui
Tidak hanya makanan berat, Toraja juga memiliki camilan khas bernama deppa tori. Kue ini terbuat dari tepung dan gula merah, ditaburi biji wijen di atasnya. Biasanya disajikan bersama kopi arabika Toraja, menjadikannya teman sempurna untuk bersantai di sore hari.
Kini, deppa tori lebih banyak dijadikan oleh-oleh bagi wisatawan. Namun, proses pembuatannya yang tradisional membuat kue ini jarang diproduksi secara massal. Akibatnya, camilan manis ini perlahan menjadi kuliner Toraja tradisional yang mulai langka.
6. Pantollo Lendong: Lezatnya Belut dengan Bumbu Pamarasan
Pantollo lendong adalah varian dari pantollo, tetapi menggunakan belut sebagai bahan utama. Hidangan ini biasanya dimasak dalam acara adat tertentu. Belut yang kaya protein berpadu dengan bumbu pamarasan, cabai katokkon, serta daun mayana, menghasilkan cita rasa unik yang sulit ditemukan di luar Toraja.
Keberadaan pantollo lendong kini makin jarang, karena ketersediaan belut menurun dan cara memasaknya yang cukup rumit.
Upaya Melestarikan Kuliner Toraja
Hilangnya sejumlah kuliner Toraja tradisional yang mulai langka bukan hanya soal makanan, tetapi juga warisan budaya. Kuliner adalah identitas, cermin dari sejarah dan filosofi masyarakat. Beberapa komunitas lokal kini berupaya melestarikannya melalui festival kuliner, dokumentasi resep, hingga membuka rumah makan khas Toraja.
Dengan promosi yang tepat, kuliner Toraja berpotensi menjadi daya tarik wisata kuliner yang tidak kalah dengan rendang atau gudeg. Melestarikan kuliner berarti menjaga warisan leluhur tetap hidup di tengah arus modernisasi.
FAQ seputar Kuliner Toraja
1. Apa yang membuat kuliner Toraja berbeda dari daerah lain?
Kuliner Toraja khas dengan penggunaan bahan alami seperti daun mayana, cabai katokkon, dan teknik memasak unik seperti pa’piong dalam bambu.
2. Mengapa beberapa kuliner Toraja mulai langka?
Faktor modernisasi, sulitnya bahan baku, dan jarangnya upacara adat membuat beberapa kuliner tradisional jarang ditemui.
3. Apakah kuliner Toraja hanya bisa dinikmati di Toraja?
Sebagian kuliner bisa ditemukan di rumah makan khas Toraja di kota besar, namun cita rasa asli biasanya hanya bisa dirasakan langsung di Toraja.
4. Apa kuliner Toraja yang cocok dijadikan oleh-oleh?
Deppa tori adalah salah satu camilan khas Toraja yang sering dijadikan oleh-oleh.
5. Bagaimana cara melestarikan kuliner Toraja?
Dengan mendokumentasikan resep, mengajarkan ke generasi muda, serta menjadikan kuliner Toraja sebagai bagian dari wisata budaya.