Liputan6.com, Jakarta - Konser Simfoni untuk Bangsa 2025 hadir dengan tampilan istimewa. Tahun ini, pertunjukan tersebut menandai perjalanan 80 tahun musik Indonesia.
Digelar dalam format orkestra yang megah, Simfoni untuk Bangsa tahun ini mempersembahkan lagu-lagu dari berbagai era, mulai dari lagu-lagu perjuangan, seperti Berkibarlah Benderaku, hingga karya modern, termasuk Rungkad dan Lexicon.
Menariknya, lagu-lagu lama yang dibawakan ternyata berhasil mencuri perhatian penonton. Saat lagu-lagu Tiga Dara, Bengawan Solo, maupun medley Titiek Puspa dimainkan, banyak penonton yang terlihat sangat menikmati, menciptakan tepuk tangan yang meriah setelahnya.
Konduktor konser tersebut, Avip Priatna, menjelaskan bahwa para arranger diberi kebebasan untuk mengeksplorasi karya sesuai gaya mereka, tanpa menghilangkan esensi lagu asli. Ia mengatakan saat jumpa pers di Jakarta Sabtu, 2 Agustus 2025, "Jadi, ada aransemen yang bikin penonton mikir, 'Lho, kok jadi begini?' tapi ada juga yang tetap familiar."
Menyatukan Musik dari Beberapa Generasi
Proses pemilihan lagu untuk konser ini sudah dimulai sejak awal tahun. Awalnya, periode satu dekade bisa sampai 10 lagu, sehingga totalnya mencapai lebih dari 80 lagu. Namun, itu tidak bisa dilakukan karena akan memakan waktu yang sangat lama.
Akhirnya, mereka memilih beberapa lagu yang dirasa bisa mewakili setiap masa, dengan mempertimbangkan makna dan seberapa kuat lagu itu diingat orang. Lagu-lagu, seperti Kolam Susu, Tuhan, Gallih dan Ratna, sampai Bahasa Kalbu dipilih karena punya kesan mendalam dan bisa membuat penonton langsung teringat masa lalu. Lagu-lagu itu dianggap punya kekuatan emosional yang besar, tapi tetap terasa relevan meski sudah lama dirilis.
Beberapa penyanyi legendaris juga diberi penghormatan khusus, termasuk mendiang Titiek Puspa. Avip mengatakan, "Karena beliau (Titiek) baru wafat, jadi kami sengaja ingin mempersembahkan lebih dari satu lagu." Karena itu, beberapa lagunya dimasukkan dalam bentuk medley sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih atas kontribusinya ke musik Indonesia.
Aransemen Baru, tapi Rasa Tetap Sama
Walau lagu-lagu lama yang dibawakan sudah dikenal banyak orang, aransemen yang digunakan bukan cuma menyalin versi aslinya. Tim produksi memberi kebebasan penuh ke para musisi untuk menata ulang lagu-lagu itu dengan cara mereka sendiri. Hal inilah yang membuat konser ini bukan hanya jadi ajang nostalgia, tapi juga terasa baru dan bikin penasaran.
Tua-Tua Keladi atau Kumpul Bocah yang lagunya seru dan ceria, misalnya, dibawakan dengan gaya orkestra yang lebih hidup. Sementara itu, lagu seperti Indonesia Pusaka dan Rayuan Pulau Kelapa tetap dibuat sedikit serius dan tenang. Perpaduan ini membuuat konser tidak terasa membosankan dan membuat penonton merasa senang untuk menunggu lagu selanjutnya.
Menurut Avip, kebebasan dalam mengaransemen lagu-lagu ini justru yang menjadikan konser ini punya warna unik setiap tahunnya. Ia menjelaskan, setiap penampilan pasti memiliki nuansa yang berbeda, sehingga konsernya tidak pernah terasa membosankan. Penonton juga jadi lebih betah menyaksikannya dari awal sampai akhir.
Kenangan Tidak Pernah Hilang
Hal yang membuat konser ini istimewa bukan hanya karena daftar lagunya, tapi juga pilihan lagu yang mampu membangkitkan kenangan banyak orang. Setiap aransemen terasa segar, tapi tetap menjaga rasa dari lagu aslinya, sehingga cocok dinikmati berbagai generasi.
Lagu, seperti Ada Apa dengan Cinta atau Kasih Putih, misalnya, langsung membawa penonton ke era 2000-an yang penuh memori remaja. Sementara itu, lagu seperti Gallih dan Ratna, serta Nurlela dianggap berhasil memunculkan kenangan kolektif lintas generasi. Lagu Badai Pasti Perlalu yang dibawakan dengan aransemen lembut bahkan terasa sangat menyentuh dan relevan untuk masa sekarang.
Melalui konser ini, Simfoni untuk Bangsa tidak hanya merayakan musik, tapi juga mempertemukan kenangan dan harapan lewat lagu. Seperti yang diharapkan Avip, "Mudah-mudahan penonton pulang dari konser ini tidak hanya senang, tapi juga merasa dapat pengalaman berbeda. Lagu yang mereka kira biasa, bisa jadi luar biasa."