Perjuangan Gaya Brigitte Macron Melawan Hoaks Transgender, Tampil Lebih Hati-Hati

Liputan6.com, Jakarta - Isu mengenai penampilan dan identitas Ibu Negara Prancis, Brigitte Macron, kembali mencuat di pengadilan. Ia dilaporkan terpaksa mengubah penampilannya dan mengalami penurunan kesehatan akibat terus-menerus diserang dengan teori konspirasi tak berdasar yang menyebutnya sebagai seorang transgender.

Perjuangan Brigitte melawan rumor jahat ini diungkap putri kandungnya, Tiphaine Auzière, dalam sidang yang melibatkan 10 tersangka penyebar hoaks. Tiphaine (41) menjelaskan bagaimana ibunya harus ekstra hati-hati dalam memilih "postur" dan "pakaiannya" sejak klaim-klaim itu mulai beredar di ranah daring.

Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak cyberbullying terhadap kesehatan mental dan citra diri seseorang, bahkan bagi figur publik sekelas Ibu Negara. "Dia tahu bahwa citranya bisa diambil dan didistorsi," kata Tiphaine selama hari kedua persidangan sambil menjelaskan bagaimana ibunya selalu berhati-hati tentang "posturnya" dan "pakaiannya" sejak klaim mulai beredar, outlet Prancis Ouest France melaporkan, dilansir dari NY Post pada Rabu (29/10/2025).

Kasus ini menarik perhatian dunia, bukan hanya karena menyangkut isu politik dan pribadi, tapi juga karena menyoroti bahaya penyebaran informasi palsu yang dapat merusak kehidupan seseorang secara mendalam. Perubahan gaya Brigitte adalah respons langsung terhadap lingkungan digital yang semakin toksik.

Di usia 72 tahun, Brigitte yang dikenal dengan gaya khas blazer ramping, rok di atas lutut, dan sepatu hak tinggi, kini harus mempertimbangkan setiap detail penampilannya agar tidak jadi bahan bakar baru bagi konspirator online.

Tiphaine menambahkan, "Dia tidak bisa mengabaikan kengerian yang dikatakan." Serangan ini tidak hanya menargetkan Brigitte, tapi juga Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dengan isu perbedaan usia 25 tahun yang disebut "pedofilia."

Bagi keluarga, kehadiran di pengadilan ini sangat penting, seperti yang diungkap Tiphaine, "Penting untuk berada di sini hari ini untuk mengungkap prasangka. Saya ingin melaporkan seperti apa hidupnya sejak dia dilanda kebencian ini."

Serangan siber yang masif dan terstruktur ini telah meninggalkan luka yang mendalam, tidak hanya pada Brigitte, tapi juga seluruh keluarga. Auzière mengungkap bahwa kesehatan ibunya "memburuk" akibat tekanan terus-menerus ini.

Dalam tuduhan, Brigitte disebut terlahir dengan nama Jean-Michel Trogneux dan menjalani operasi ganti kelamin. Isu "pedofilia" yang ditujukan pada suaminya telah menciptakan lingkungan yang penuh kebencian.

Tiphaine, yang merupakan putri Brigitte dari pernikahan pertamanya dengan André-Louis Auzière, menegaskan betapa menyakitkan situasi ini "Dia tidak bisa mengabaikan kengerian yang dikatakan," katanya.

Lebih parah lagi, rumor jahat itu kini disadari oleh cucu-cucu Brigitte. Para terdakwa, yang terdiri dari 10 orang, termasuk ahli IT hingga guru, menggunakan alasan "humor dan kebebasan berbicara" untuk membela diri.

Bagi keluarga Macron, ini adalah masalah pencemaran nama baik yang serius dan membutuhkan penegakan hukum untuk melindungi martabat mereka. Langkah hukum yang diambil Brigitte dan Macron adalah respons tegas terhadap budaya hoaks yang merajalela.

Mereka memulai proses pidana dua tahun lalu sebagai tanggapan atas klaim berulang bahwa Ibu Negara adalah transgender.

Persidangan cyberbullying ini terjadi hanya tiga bulan setelah Macron mengajukan gugatan pencemaran nama baik di AS terhadap podcaster konservatif Candace Owens, yang turut menyebarkan klaim serupa.

Untuk membantah klaim ini secara tuntas, pasangan Macron berencana menawarkan bukti "ilmiah" dan foto-foto yang membuktikan Brigitte bukan transgender, menurut pengacara AS mereka.

Tiphaine juga secara gamblang membantah rumor tersebut dengan menyebutkan, Trogneux, yang diklaim sebagai nama lahir Brigitte, sebenarnya adalah kakak laki-laki Brigitte. Ia bercerita, "Saya melihat paman saya beberapa bulan lalu. Dia dalam kondisi baik."

Para tersangka, yang berusia antara 41 hingga 65 tahun, menghadapi potensi hukuman hingga dua tahun penjara jika terbukti bersalah menyebarkan banyak komentar jahat secara online.