15 Danau Prioritas Nasional Berstatus Kritis, dari Danau Toba hingga Danau Tempe

2 weeks ago 35

Liputan6.com, Jakarta - Sejak 2012, pemerintah yang terdiri dari lintas kementerian/lembaga menginisiasi pemulihan kondisi 15 danau prioritas nasional. Kebijakan itu kemudian tertuang dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Empat tahun berlalu, upaya penyelamatan danau ternyata belum mengubah situasi.

"Pasti kritis (kondisi danau) ya sehingga menjadi prioritas untuk dipulihkan. Kita minta disusun rencana aksi konkret. Saya minta waktu sebulan dari sekarang, rencana aksi ini harus segera kita bicarakan di level expert di nasional untuk mendapat review dari semua kementerian yang terlibat," kata Menteri Lingkungan Hidup (MenLH) Hanif Faisol Nurofiq di Jakarta, Rabu, 1 Oktober 2025.

Dua dari 15 danau prioritas berada di Pulau Jawa, yakni Danau Rawa Danau di Banten dan Danau Rawa Pening di Jawa Tengah. Lima danau lainnya berada di Sumatra dan Bali meliputi Danau Toba di Sumatera Utara, Danau Singkarak di Sumatera Barat, Danau Maninjau di Sumatera Barat, Danau Kerinci di Jambi, Danau Batur di Bali.

Masalah-Masalah Lingkungan di Danau

Sisanya adalah Danau Tondano di Sulawesi Utara, Danau Kaskade Mahakam (Melintang, Semayang, dan Jempang) di Kalimantan Timur, Danau Sentarum di Kalimantan Barat, Danau Limboto di Gorontalo, Danau Poso di Sulawesi Tengah, Danau Tempe di Sulawesi Selatan, Danau Matano di Sulawesi Selatan, dan Danau Sentani di Papua.

MenLH menjabarkan sederet masalah lingkungan yang memperparah kondisi danau-danau prioritas. Itu dimulai dari sedimentasi cukup serius yang menyebabkan pendangkalan danau hingga penyusutan luasan danau secara signifikan.

Masalah ditambah dengan kehadiran keramba jaring apung yang tidak berkesudahan hingga menurunkan populasi ikan di danau. "Saya tidak anti-keramba jaring apung, tapi silakan di-searching di Google, dengan sangat mudah kita bisa menghitung setiap satu ekor ikan, berapa meter persegi danau yang kemudian dirusak dari kegiatan keramba jaring apung itu," ujarnya.

Usaha Masih Jauh dari Hasil

Kualitas danau semakin parah dengan pelepasan spesies impasif yang menyerang hewan-hewan endemik di danau tersebut. Belum lagi alih fungsi danau jadi lahan pertanian semusim.

"Kita dengar sering ada ikan mati di beberapa danau dan kami lakukan kajian. Memang timbulnya dari pestisida ataupun makanan ikan yang kemudian ikan-ikan terpapar di danau-danau tersebut," ujarnya.

Pupuk berlebihan yang masuk ke badan air juga menyuburkan eceng gondok. Populasi eceng gondok yang tidak terkendali pada akhirnya menurunkan kualitas air danau, padahal keberadaannya sangat penting untuk memenuhi kebutuhan air tawar penduduk sekitar.

"Intervensi langsung sudah dilakukan di beberapa danau, termasuk Danau Limboto, kalau tidak salah, telah diberikan alat untuk mendorong penggunaan eceng gondok. Namun, kita banyak lihat di Cirata, di Jatiluhur. Jadi kita belum melakukan langkah serius dengan itu semua," katanya.

Ikan Makin Sulit Dicari di Danau Limboto

Situasi serupa juga dialami Danau Kaskade Mahakam yang jadi habitat pesut Mahakam. Ratusan kapal tongkang yang melewati Sungai Mahakam setiap hari menyebabkan pesut terdesak menempati wilayah sempit untuk bertahan hidup.

"Terdata oleh para aktivis lokal jumlahnya (pesut) tidak lebih dari 62 ekor sampai hari ini. Itu juga ternyata masih mendapat tantangan berikutnya. Hampir setiap hari tidak kurang dari 60 tongkang lewat sungai kecil yang berhubungan dengan danau tersebut," kata dia. 

Beberapa waktu lalu, air Danau Limboto berubah jadi keruh. Hal itu akibat aliran sungai-sungai di sekitarnya yang debitnya meningkat karena hujan. Tidak hanya air, sedimentasi juga terbawa masuk ke dalam danau yang kondisinya sudah kritis.

Habitat Ikan Terganggu

Dampaknya, habitat ikan terganggu. "Saat ini sangat sulit mendeteksi ikan mujair. Air keruh dan debit air yang tinggi membuat ikan semakin sulit ditemukan," kata Suherman, seorang nelayan setempat, 30 Januari 2025, dikutip dari kanal Regional Liputan6.com.

Pria yang akrab disapa Herman ini mengaku, hasil tangkapannya kini jauh menurun dibandingkan kondisi normal. Dalam beberapa hari terakhir, ia sering kembali dengan tangan kosong. Kalaupun berhasil mendapatkan ikan, jumlahnya sangat minim dan hanya cukup untuk konsumsi keluarga.

"Kalau untuk dijual, tidak memungkinkan," ucapnya.

Kondisi itu memaksa Herman mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Sekarang saya bawa bentor (becak motor) untuk cari nafkah. Kalau tidak begitu, anak istri makan apa?" ujarnya dengan nada pasrah.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |