Liputan6.com, Jakarta - Plaza Indonesia Fashion Week (PIFW) 2025 menandai karya teranyar Sejauh Mata Memandang. Alih-alih hanya menggelar fashion show seperti tahun-tahun sebelumnya, label inisiasi Chitra Subyakto ini memilih menghadirkan dua karya sekaligus: koleksi limited edition "Puspa" dan film pendek berjudul "Pulang."
Keputusan ini bukan sekadar strategi presentasi, melainkan bentuk refleksi atas situasi sosial dan lingkungan yang semakin mendesak. "Puspa" hadir melalui proses kolaboratif bersama Mugi Batik, mitra Studio Sejauh di Pekalongan, Jawa Tengah.
Produksinya dilakukan dengan teknik jacquard Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), menggunakan material katun–TENCEL, menjadikan setiap helai kain sarat nilai tradisi sekaligus inovasi. "Mungkin hanya ada 10 tipe, dan itu semuanya limited edition," katanya di Jakarta, Minggu, 28 September 2025.
Tidak hanya soal jumlah, koleksi yang ditampilkan sebagai pembuka PIFW 2025 ini mencerminkan komitmen keberlanjutan dengan menggunakan pewarna alami dari kayu secang. Juga, pengikat baju dari kemiri sebagai elemen penting dalam produksi.
Koleksi Terbatas Puspa
Koleksi Puspa tampil dengan dominasi warna merah muda yang hadir dalam berbagai gradasi. Menariknya, warna ini sama sekali tidak direncanakan sejak awal. Chitra menceritakan bagaimana pilihan tersebut muncul dari kebutuhan film.
"Saat merencanakan filmnya, sutradara Kathleen bilang, ini tuh adegannya banyak yang jauh-jauh. Misalnya, di antara sampah atau di antara pabrik. Ini perlu warna yang cukup kuat," jelasnya. Permintaan tersebut mendorong Sejauh mengeksplorasi pewarnaan alami dari kayu secang, yang ternyata menghasilkan rona merah muda variatif di setiap material.
Bagi Chitra, ketidakseragaman itu justru menciptakan keunikan pada setiap helai. Selain itu, warna pink juga dimaknai sebagai simbol perjuangan, sekaligus harapan. Koleksi ini diperkaya dengan motif khas Ombak Laut, simbol perjalanan dan kesinambungan alam yang sejak lama jadi identitas Sejauh Mata Memandang.
Medium Baru untuk Menyampaikan Doa
Koleksi Puspa juga menegaskan komitmen keberlanjutan, tidak hanya lewat pewarna alami, tapi juga dalam proses pengerjaan yang melibatkan para artisan lokal dengan metode manual.
Ketika "Puspa" merepresentasikan aspek visual dan material, film pendek "Pulang" hadir sebagai medium refleksi emosional. Chitra menyampaikan, keputusan memilih film dibanding fashion show lahir dari situasi hati dan kebutuhan ekspresi yang lebih dalam.
"Akhir-akhir ini, kita sering membaca berita, dan rasanya banyak sekali yang ingin aku sampaikan. Jadi, kami buat sebuah film pendek yang lebih menceritakan apa sih perasaan kita semua ini sebagai rakyat Indonesia, apa yang bisa kita buat. (Film ini) jadi semacam doa," katanya.
Judul "Pulang" merujuk pada ajakan kembali ke akar, kembali ke warisan nenek moyang. "'Pulang' bikin hidup lebih damai, lebih tenang," ungkapnya.
Krisis Iklim dan Tanggung Jawab Bersama
Film "Pulang" menyoroti isu lingkungan dengan cara yang puitis, sekaligus konfrontatif. Salah satu adegan penting berlatar di Pekalongan, yang memperlihatkan keindahan mangrove yang berdampingan dengan tumpukan sampah.
Kontras ini memperlihatkan paradoks besar, yaitu potensi alam yang indah berhadapan langsung dengan krisis akibat ulah manusia. Chitra menekankan bahwa masalah sampah bukan hanya di Pekalongan, melainkan seluruh dunia.
"Sebenarnya kita bisa melakukan apa sih, dimulai dari diri sendiri. Jadi mulailah dengan menjadi bagian dari solusi, bukan polusi dengan cara kita berkonsumsi," tegasnya.
Harapannya sederhana, namun penting, yakni membuka kesadaran publik. "Mungkin lebih terbuka saja pikirannya bahwa kita memang sudah hidup di (era) krisis iklim, dan sebenarnya ada langkah-langkah kecil yang kita bisa lakuin sama-sama," tandasnya.