Liputan6.com, Jakarta - Di tengah hiruk-pikuk Stasiun Gondangdia, ada satu sosok yang setia berdiri dengan gerobak sederhana berwarna biru. Ia menjual es goyang, jajanan klasik yang kini langka. Pak Asum (64), nama penjual itu, sudah puluhan tahun menjadi bagian dari wajah stasiun.
Tahun ini, ia genap 37 tahun mengabdikan hidupnya untuk menjajakan es goyang. "37 tahun pas tahun ini. 37 tahun jualan es goyang,” ujarnya sambil tersenyum mengenang perjalanan panjangnya, di Jakarta, 2 September 2025.
Ia mengaku setiap hari berjualan di Stasiun Gondangdia, meski terkadang juga mangkal di depan Taman Ismail Marzuki (TIM). Namun, ia lebih sering dan nyaman berjualan di Stasiun Gondangdia karena sudah terbiasa di sana. Selama berjualan, ia menjadi saksi perubahan wajah Jakarta, sejak Lapangan Banteng masih berfungsi sebagai terminal hingga kini sudah berubah menjadi ruang terbuka hijau.
Pak Asum memulai usaha ini sejak berhenti sekolah di kelas 5 SD. Ia mengaku sudah bekerja sejak umur 15 tahun, dan pilihan yang diambil adalah berdagang es goyang.
Awal-mula Perjalanan Pak Asum Berjualan Es Goyang
Perjalanan panjang Pak Asum dimulai ketika ia memutuskan berhenti sekolah di kelas 5 SD. Kondisi keluarga membuatnya harus bekerja lebih cepat dibandingkan anak-anak seusianya. "Masih umur 15 tahun. Udah keluar dari kelas 5 SD, langsung kerja aja," kenangnya.
Dari situlah, ia mulai mengenal dunia kerja dan langsung terjun menjual es goyang. Awalnya, harga es goyang sangat murah. "Dari sejak 10 perak, 15 perak, 25 perak, seribu perak, sampai sekarang lima ribu (rupiah),"” ujarnya.
Kenaikan harga itu mengikuti kondisi ekonomi dari masa ke masa. Perubahan ini juga ia saksikan sambil melihat Jakarta berkembang, mulai dari kendaraan umum yang didominasi oplet hingga hadirnya berbagai sarana modern.
Sejak awal berdagang, ia tidak pernah berpikir untuk pindah ke usaha lain. "Enggak, jualan es goyang aja. Nggak mau ganti-ganti. Biarin aja, udah nyaman,” katanya. Prinsip itu ia pegang teguh sampai kini sudah memiliki delapan anak dan sebelas cucu.
Siapkan Dagangan Sejak Dini Hari
Meski tampak sederhana, es goyang membutuhkan proses persiapan yang panjang. Pak Asum memulai aktivitasnya sejak dini hari. "Jam 3 pagi saya sudah bangun. Air disiapin beberapa gayung di ember. Gulanya juga kadang empat kilo, lima kilo," jelasnya.
Bahan dasar seperti air dan gula disiapkan di rumah. Namun, tidak semua bisa dilakukan sendiri. Beberapa proses harus di pasar, misalnya mengukus santan dalam jumlah besar, membeli es batu, garam, hingga mencari buah segar seperti alpukat atau nangka. Ketelitian itu penting supaya rasa tetap konsisten.
Sekitar pukul 8 pagi, ia sudah tiba di Stasiun Gondangdia dan bertahan sampai jam 3 sore. "Patokannya jam 3 aja. Dari jam 8 pagi sampai jam 3," katanya.
Soal rasa, ia menyiapkan cukup banyak pilihan. "Yang dijual ada kacang hijau, cokelat, stroberi, alpukat, sama nangka. Ada lima macam," jelasnya. Terkadang, ia menambahkan kelapa muda bila ada di pasar.
Namun, ketersediaan buah yang tak menentu membuatnya kesulitan menyediakan seluruh rasa, terutama alpukat dan nangka. "Jadi paling cuma kacang hijau, cokelat, sama stroberi aja," tambahnya. Meski begitu, para pelanggan tetap setia membeli apapun rasa yang tersedia.
2025 Disebut Tahun Terberat
Tantangan terberat dalam 37 tahun berjualan adalah kondisi ekonomi yang semakin sulit. Pak Asum mengaku dagangannya sekarang jauh lebih sepi dibandingkan dulu. "Dulu bisa 200, 300 porsi, Neng. Sekarang (bawa) 80 aja sudah banyak. Kadang kemarin cuma (terjual) lima doang di sini," ceritanya lirih.
Padahal, modal yang ia keluarkan setiap hari tidak sedikit, berkisar Rp300 ribu–Rp400 ribu per hari. Namun, hasil yang ia dapat sering kali tidak sebanding. "Sekarang paling (pendapatan sehari) dapet Rp100 ribu. Tahun 2025 ini mati total," ujarnya.
Meski begitu, ia tetap bertahan. "Nggak jualan, nggak makan, Neng. Itu aja yang penting," katanya.
Baginya, berjualan bukan hanya mencari keuntungan, tapi soal bertahan hidup. Ia sudah terbiasa menghadapi naik-turunnya pasar, tapi tahun ini ia sebut sebagai masa yang paling berat. Harapannya sederhana, ia ingin dagangannya kembali laris seperti dulu. "Pengennya sih dagangan laku kayak kemarin-kemarin. Terjual banyak, hasilnya bisa nutup modal," ucapnya penuh harap.