Jakarta - Harga tiket pesawat terutama rute domestik masih dikeluhkan banyak pihak karena termasuk mahal. Garuda Indonesia membeberkan sejumlah tantangan yang dihadapi maskapai sehingga membuat harga tiket pesawat menjadi mahal.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi V DPR RI yang membidangi infrastruktur dan perhubungan, dengan Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub di Jakarta, Kamis, 22 Mei 2025, Direktur Utama Garuda Indonesia Wamildan Tsani menjelaskan setidaknya ada tiga tantangan utama yang dihadapi maskapai penerbangan, termasuk di Indonesia.
Pertama, sejak perumusan tarif batas atas (TBA) terakhir pada 2019, struktur biaya maskapai sudah berubah secara signifikan utamanya peningkatan harga avtur dan beban maintanance atau pemeliharaan. Kedua, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak 2019 turut memberikan dampak besar terhadap penetapan harga tiket.
Ketiga, margin keuntungan maskapai yang sangat ketat membuat mereka rentan terhadap penurunan load factor atau jumlah penumpang. "Penurunan load factor atau jumlah penumpang 3-5 persen, ini sangat mempengaruhi margin profit dari maskapai," kata Wamildan, dilansir dari Antara, Kamis, 22 Mei 2025.
Pengaruh Nilai Tukar Valuta Asing
Wamildan mencontohkan, sebuah penerbangan rute Cengkareng-Denpasar pada 2019 membutuhkan biaya Rp194 juta. Namun, saat ini, total biaya meningkat menjadi Rp269 juta atau naik sekitar 38 persen.
Ia juga menyoroti komponen biaya berbasis kurs dolar AS, seperti pemeliharaan, perbaikan dan operasi (MRO), avtur, sewa pesawat, dan biaya marketing serta service semakin memperparah tekanan margin maskapai. Ia menyebut kenaikan nilai tukar valuta asing sebesar 14-15 persen sejak 2019 secara langsung berdampak pada pengeluaran maskapai.
"Kita bisa lihat data analisis dari International Air Transport Association (IATA) ini, bisa terlihat bahwa dari 2012 hingga 2019 seluruh ekosistem aviasi mendapatkan kenaikan margin atau profit kecuali airline. Ini terjadi bahkan sebelum terjadi pandemi," ungkapnya.
Menanggapi kondisi ini, Garuda Indonesia mengusulkan opsi penyesuaian TBA. Besarannya masih dalam tahap finalisasi dengan Ditjen Perhubungan Udara. "Untuk perhitungan tarif yang sebelumnya hanya berdasarkan jarak, namun sudah disepakati bahwa perhitungannya akan memperhitungkan juga block hour atau lamanya penerbangan," terang Wamildan.
Tingginya Kebutuhan Reaktivasi Pesawat
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan tengah meninjau kembali kebijakan tarif angkutan udara domestik. Evaluasi ini dilakukan menyusul meningkatnya biaya operasional maskapai, khususnya dalam hal pemeliharaan armada. Dengan demikian. ada kemungkinan harga tiket pesawat lebih mahal.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Udara, Lukman F Laisa, menjelaskan kepada Komisi V DPR bahwa lonjakan biaya tersebut terjadi karena tingginya kebutuhan reaktivasi pesawat setelah masa pandemi COVID-19. Selain itu, gangguan pada rantai pasok suku cadang global, terutama pada mesin pesawat, fluktuasi nilai tukar dolar AS, dan naiknya harga kontrak perawatan turut menjadi faktor pendorong evaluasi tersebut.
Lukman juga mengungkapkan bahwa turunnya nilai komponen sewa pesawat disebabkan oleh penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 yang berlaku sejak 2020. Perubahan aturan akuntansi ini mengharuskan pencatatan sewa pesawat sebagai penyusutan, bukan lagi biaya langsung.
Restrukturisasi utang sewa pesawat pasca-pandemi turut memperberat kondisi keuangan maskapai, sehingga pemerintah merasa perlu mengkaji kembali struktur tarif angkutan udara.
Tarif Berdasarkan Jarak dan Waktu Tempuh
Dalam paparannya, Ditjen Perhubungan Udara mengajukan sejumlah usulan perubahan regulasi. Salah satunya adalah revisi terhadap Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri Nomor 106 Tahun 2019 terkait tarif batas atas kelas ekonomi untuk penerbangan niaga berjadwal dalam negeri.
Revisi ini mencakup perhitungan tarif berdasarkan jarak dan waktu tempuh, serta penyesuaian terhadap batas atas dan batas bawah tarif. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan formulasi tarif yang lebih adil dan sesuai dengan kondisi aktual industri penerbangan.
Pemerintah juga mendorong penggunaan pesawat propeler untuk layanan konektivitas daerah dengan menghapus diferensiasi tarif layanan pada jenis pesawat tersebut—berbeda dengan pesawat jet yang tetap menerapkan klasifikasi tarif.
Terakhir, Ditjen Perhubungan Udara menekankan pentingnya mempersempit selisih antara tarif batas atas dan bawah guna mencegah praktik tarif predator serta menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Penyesuaian ini juga ditujukan untuk mengurangi disparitas harga antara musim sepi dan musim ramai yang kerap memicu keluhan konsumen.