Liputan6.com, Jakarta - Maulid Nabi yang dijadikan hari libur nasional merupakan peringatan akan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal. Tahun ini, peringatannya jatuh pada Jumat, 5 September 2025, bertepatan dengan libur panjang.
Setiap daerah memiliki tradisi khas untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Hal itu sebagai cerminan rasa syukur umat Islam atas panduan hidup yang disampaikan Nabi Muhammad sepanjang hidupnya. Lifestyle Liputan6.com merangkum tujuh tradisi Maulid Nabi dari berbagai sumber, dikutip Kamis (4/9/2025). Tak jarang, tradisi itu juga menjadi atraksi wisata setempat.
1. Tradisi Maulid Nabi Warga Subi di Natuna
Warga Kecamatan Subi, yang mayoritas bersuku Melayu dan beragama Islam, memperingati Maulid Nabi dengan menggelar tradisi yang berlangsung selama tiga hari. Rangkaian acara dimulai tepat pada 12 Rabiul Awal dengan berzikir Maulid dari pagi hingga waktu zuhur tiba.
Zikir dilakukan dalam posisi duduk lalu berdiri, yang melambangkan penghormatan pada kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada juga ritual penyemprotan minyak wangi kepada jemaah sebagai simbol bayi yang baru lahir diberi wewangian.
Tradisi Grebeg Pisang di Magelang
Setelah zikir, masyarakat Subi lalu membawa sedekah makanan dalam dulang. Dulang berisi 17–20 menu makanan yang ditandu menuju masjid sambil bershalawat. Makanan tersebut diprioritaskan untuk para tamu dari luar, lalu dinikmati bersama warga setempat.
Perayaan ditutup dengan doa dan makan bersama di masjid. Tradisi ini bukan hanya wujud cinta pada Nabi, tapi juga kekompakan masyarakat, sekaligus menjadi warisan budaya yang terus dijaga hingga kini.
2. Tradisi Grebeg Pisang di Magelang
Warga Dusun Jetak, Desa Sidorejo, Magelang, punya tradisi unik untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan nama Grebeg Pisang. Setiap tahunnya, ratusan warga membawa hasil bumi berupa pisang serta jajanan pasar ke masjid sebagai bentuk rasa syukur dan kebersamaan.
Sebelum prosesi dimulai, masyarakat yang berkumlah sekitar 200 kepala keluarga itu membaca shalawat Nabi, barzanji, Diba’an, dan Djanel, yang menjadi warisan budaya religius turun-temurun tanpa meninggalkan nilai syariat Islam. Setelah doa dan prosesi selesai, masyarakat bersama-sama 'menggrebeg' pisang yang dikumpulkan.
Tradisi Malamang di Padang Pariaman
3. Tradisi Malamang di Padang Pariaman
Di Desa Wisata Sintuak, Padang Pariaman, ada tradisi khas bernama Malamang yang rutin digelar saat bulan Maulid untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini berupa memasak ketan dengan santan menggunakan bambu yang dibakar di atas bara api.
Malamang pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin ketika menyebarkan Islam di Ulakan dan terus dilestarikan masyarakat Padang Pariaman, khususnya pengikut Tarekat Syathariyah.
Malamang tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, tetapi juga dalam upacara kematian. Dalam kalender masyarakat Padang Pariaman, tradisi ini biasanya digelar pada Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, serta Sya’ban yang dikenal sebagai 'bulan lamang'.
4. Panjang Jimat di Kabupaten Cirebon
Tradisi Panjang Jimat di Cirebon merupakan puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar serentak di tiga keraton, yakni Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan. Prosesi sakral dimulai dengan bunyi lonceng Gajah Mungkur di Keraton Kanoman sebagai tanda pembukaan.
Rangkaian dilanjutkan dengan prosesi sungkem, iring-iringan keluarga keraton, serta pembacaan shalawat sepanjang perjalanan menuju Masjid Agung Kanoman. Sesampainya di masjid, prosesi dilanjutkan dengan pembacaan riwayat Nabi, barzanji, shalawat, hingga doa bersama.
Setelah itu, makanan yang dibawa rombongan dibagikan kepada keluarga keraton, abdi dalem, dan masyarakat yang hadir. Tradisi ini menjadi simbol penghormatan dan pengamalan ajaran Islam, sesuai makna kata 'Jimat' yaitu diaji (dipelajari) dan dirumat (diamalkan).
Tradisi Maulid Nabi di Jawa Timur dan Aceh
5. Brayakan di Jawa Timur
Tradisi Brayakan menjadi salah satu daya tarik dalam peringatan Maulid Nabi. Dalam acara ini, berbagai hadiah seperti makanan, buah, perlengkapan rumah tangga, hingga uang kertas diperebutkan warga sebagai wujud suka cita menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini menunjukkan bagaimana Maulid Nabi di Jatim tidak hanya dirayakan dengan meriah, tetapi juga dipadukan dengan nilai religius serta doa untuk kebaikan masyarakat luas.
6. Tradisi Kenduri Maulid di Aceh
Tradisi Maulid di Aceh tidak hanya sarat nilai spiritual, tetapi juga menjadi ajang mempererat persaudaraan antarwarga. Masyarakat dari gampong yang berbeda saling berkunjung dan berkumpul di meunasah (surau) untuk berdoa, berzikir, membaca shalawat, dan mendengarkan ceramah.
Momen ini sekaligus menjadi kenduri besar, dengan setiap keluarga membawa hidangan khas yang ditempatkan dalam wadah khusus berlapis kain berwarna tradisional Aceh, yakni kuning, hijau, dan merah. Hidangan yang dibawa beragam, seperti bu kulah (nasi rempah dalam daun pisang), kuah beulangong, gulai ayam dan kambing, hingga bulukat dan aneka buah.
Tradisi Maulid di Yogyakarta
Makanan ini kemudian dikumpulkan, dibuka bersama, dan disantap oleh warga serta tamu, termasuk anak yatim. Tradisi ini bukan hanya wujud syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga simbol kebersamaan, gotong royong, dan identitas budaya Aceh yang terus dilestarikan.
7. Grebeg Maulud Keraton di Yogyakarta
Grebeg Maulud adalah tradisi tahunan Keraton Yogyakarta untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dipadukan dengan budaya Jawa. Berakar dari dakwah Sunan Kalijaga dan Kerajaan Demak pada abad ke-15, tradisi ini kemudian dilestarikan oleh Sultan Hamengkubuwono I.
Perayaan berlangsung setiap 12 Rabiul Awal dengan serangkaian prosesi, mulai dari Miyos Gangsa (keluarnya gamelan sekati), Numplak Wajik, Bethak, hingga puncaknya arak-arakan enam gunungan berisi hasil bumi yang dibagikan kepada masyarakat. Gunungan ini melambangkan kemakmuran, berkah, dan harapan rezeki.
Selain bernilai spiritual, Grebeg Maulud juga menjadi simbol sosial budaya Yogyakarta. Tradisi ini memperkuat rasa kebersamaan, gotong royong, dan toleransi, sekaligus menunjukkan perpaduan nilai Islam dengan adat Jawa.