Liputan6.com, Jakarta - Kulit cantik nan sehat seharusnya jadi tujuan utama perawatan harian Anda. Konsultan Dermatologis dan Pendiri Self London Dr Anjali Mahto pun mendesak konsumen berpikir dua kali sebelum mengikuti tren skincare yang viral.
Meski beberapa mungkin tampak tidak berbahaya, bahkan bermanfaat, Dr Mahto menyoroti tiga tren skincare populer yang tidak akan pernah direkomendasikannya di klinik. Ia pun menjelaskan alasan tren-tren tersebut mungkin lebih banyak menimbulkan kerugian daripada bermanfaat, lapor Women's Health, dikutip Senin (30/6/2025).
"Ada budaya yang berkembang di internet untuk berbagi saran perawatan kulit tanpa dasar medis apapun," kata Dr Mahto. "Tren-tren ini sering kali menarik secara visual dan menjanjikan hasil yang dramatis, tapi tidak didukung bukti ilmiah. Dalam banyak kasus, tren-tren ini mengalihkan perhatian dari apa yang benar-benar berhasil dan pada beberapa individu, tren-tren ini secara aktif dapat menyebabkan masalah kulit."
1. Lemak Sapi untuk Kulit
Penggunaan lemak sapi sebagai pelembap telah banyak dipromosikan di TikTok dan Instagram dalam beberapa bulan terakhir, tapi Dr. Mahto sangat menyarankan untuk tidak melakukannya. "Saya melihat tren ini semakin populer di internet dan, sejujurnya, ini mengkhawatirkan," ujar dia.
"Lemak sapi bukanlah bahan perawatan kulit dan tidak ada penelitian dermatologis kredibel yang mendukung penggunaannya untuk kulit," jelasnya. "Bagi banyak orang, terutama mereka yang rentan berjerawat atau memiliki kulit sensitif, lemak sapi dapat menyumbat pori-pori dan memicu timbulnya jerawat."
"Hanya karena sesuatu itu alami, bukan berarti itu bermanfaat atau aman untuk wajah Anda," tegasnya.
2. Masker Kolagen
Tren yang menampilkan masker "kulit yang mengelupas" atau "masker lembaran kolagen" mengklaim dapat meningkatkan produksi kolagen atau meremajakan kulit secara kasat mata dalam semalam. Tapi, Dr. Mahto memperingatkan bahwa hal ini lebih merupakan daya tarik media sosial daripada memberi manfaat kulit yang sebenarnya.
Sengaja Dirancang untuk Viral
Dr. Mahto berkata, "Produk-produk ini sengaja dirancang untuk jadi viral. Produk-produk ini tampak mengesankan atau menarik secara visual, tapi sains tidak mendukungnya. Kolagen adalah molekul besar yang tidak dapat menembus lapisan kulit saat dioleskan."
"Masker-masker ini tidak akan meningkatkan kadar kolagen alami kulit Anda. Masker ini mungkin dapat menghidrasi permukaan kulit untuk sementara. Konsumen disesatkan dengan berpikir bahwa mereka mendapatkan solusi anti-penuaan jangka panjang, padahal sebenarnya, efeknya minimal."
3. Es Batu dan Rol Es
Meski menggunakan es batu atau rol dingin pada wajah telah populer karena efek menenangkannya, Dr. Mahto memperingatkan agar tidak melebih-lebihkan manfaatnya. "Tidak diragukan lagi bahwa es batu dapat membantu mengurangi bengkak atau meredakan peradangan dalam jangka pendek, terutama di sekitar mata," katanya.
"Namun, alat mahal yang mengklaim dapat melembapkan atau menutrisi kulit menggunakan terapi dingin itu menyesatkan. Suhu dingin tidak memberi kelembapan atau nutrisi," imbuhnya.
Pilih Berawatan Kulit Berbasis Sains
Dr. Mahto menyambung, "Jika Anda menyukai sensasi dingin, tidak apa-apa, tapi jangan berharap itu akan mengubah kulit Anda, dan tentu saja jangan menghabiskan banyak uang untuk alat yang hanya mengklaim hal yang berlebihan."
Ia terus menganjurkan pendekatan perawatan kulit yang seimbang dan berbasis bukti, yang didasarkan pada pengalaman klinis dan sains yang ditinjau para pakar, bukan tren media sosial. Hal ini sebenarnya telah selaras dengan tren kecantikan yang berkembang di kalangan milenial dan Gen Z di Indonesia.
Setidaknya itu menurut studi "Millennials & Gen Z Report: Local vs Global Skincare Trends and Market Shifts" oleh Populix yang melibatkan 1.100 milenial dan Gen Z di seluruh Indonesia. Tercatat bahwa 26 persen responden kini lebih kritis terhadap apa yang mereka konsumsi sehari-hari, termasuk penggunaan produk perawatan kulit.
Konsumen muda cenderung memilih produk perawatan yang didukung temuan saintifik dari uji laboratorium dan ahli dermatologi daripada produk berbasis mitos dan kepercayaan.