Liputan6.com, Jakarta - Eksploitasi tenaga kerja merupakan isu Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) utama di industri fesyen mewah, menurut laporan perusahaan data RepRisk. Lebih dari separuh insiden ESG di sektor ini terkait eksploitasi tenaga kerja, merujuk laporan tersebut.
Melansir Sustainable Views, Sabtu (19/7/2025), analisis ini membagi industri jadi tingkatan cepat, premium, dan mewah, berdasarkan pemantauan data, dengan memindai lebih dari 2,5 juta dokumen publik dari media, lembaga nirlaba, instansi pemerintah, dan organisasi lain.
Di tingkatan mewah, 17 persen insiden berkaitan dengan "kerja paksa," serta "pelanggaran hak asasi manusia dan keterlibatan perusahaan," proporsi tertinggi di antara ketiga tingkatan tersebut. Isu-isu terkait ketenagakerjaan, seperti perlakuan buruk terhadap pekerja dan jam kerja berlebih di pabrik, merupakan masalah signifikan dalam tingkatan fast fashion, mencakup 46 persen dari seluruh kasus yang dilaporkan.
Kasus-kasus terkait lingkungan dan kesehatan juga menonjol, dengan tambahan 13 persen dari total laporan. Namun di segmen brand fesyen mewah, masalah ini hanya tercatat satu persen.
Rantai Pasok Fesyen Mewah
Selama lima tahun terakhir, sebagian besar insiden risiko sosial dalam rantai pasok fesyen dikaitkan dengan kondisi kerja yang buruk, kerja paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan keterlibatan perusahaan. Secara kolektif, ketiga isu ini mewakili sekitar 35 persen dari seluruh insiden yang terdokumentasi di ketiga tingkatan merek fesyen.
RepRisk mengkaji dua parameter untuk menilai distribusi geografis insiden risiko ESG di seluruh industri fesyen global. Berdasarkan dua metrik tersebut, perusahaan yang berbasis di AS muncul sebagai yang paling terpapar risiko terkait ESG.
Menurut metrik pertama, yang mencatat lokasi insiden risiko ESG, AS memimpin dengan 2.429 kasus. China menyusul dengan 2.203 kasus.
Lebih lanjut, menggunakan metrik kedua, yang melacak insiden risiko ESG yang terkait dengan rantai pasok global, perusahaan yang berkantor pusat di AS memimpin dengan 5.168 insiden. Jerman berada di posisi kedua dengan 2.079 insiden.
Isu Kerja Paksa
Namun, laporan tersebut mencatat bahwa paparan risiko ESG bervariasi berdasarkan isu dan wilayah. Misalnya, perusahaan-perusahaan Eropa dua kali lebih mungkin terkait insiden terkait ketenagakerjaan di Asia dibandingkan di Eropa.
Distribusi yang tidak merata ini menyoroti peran penting Asia dalam rantai pasok fesyen global dan tingginya paparannya terhadap risiko perilaku sosial dan bisnis. Karena menjangkau berbagai benua, rantai pasok fesyen sangat rentan terhadap berbagai risiko ESG.
Melampaui sekadar jaringan logistik, rantai pasokan ini adalah aset strategis, sehingga risiko apapun yang dibawanya memiliki implikasi langsung terhadap kelangsungan bisnis, profitabilitas, dan reputasi perusahaan.
Isu kerja paksa di sektor fesyen mewah sayangnya terus muncul dari waktu ke waktu. Tahun lalu, Vogue melaporkan, ketidakstabilan ekonomi, fluktuasi permintaan konsumen, serta dampak konflik dan krisis iklim berkontribusi terhadap peningkatan risiko kerja paksa, menurut penelitian dari Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia (BHRRC).
Laporan tersebut menunjukkan bahwa merek-merek fesyen mewah gagal melindungi pekerja dalam rantai pasokan mereka. Edisi keempat Benchmark Pakaian dan Alas Kaki KnowTheChain BHRRC menganalisis 65 perusahaan pakaian dan alas kaki terbesar di dunia.
Bukan Kali Ini Saja
Mereka menilai bagaimana perusahaan menerapkan kebijakan untuk mengatasi risiko kerja paksa dan dampak kebijakan tersebut bagi para pemangku kepentingan yang terdampak, dengan mempertimbangkan tuduhan dari sumber pihak ketiga yang tersedia untuk umum. Menurut laporan tersebut, 27,6 juta orang mengalami kerja paksa di seluruh dunia.
Pertumbuhan gabungan dari 20 perusahaan pakaian terbesar mencapai 42 miliar dolar AS pada 2023, sementara para pekerja yang membuat produk mereka─yang sebagian besar adalah perempuan─memiliki setidaknya 75 juta dolar AS upah yang belum dibayarkan, menurut laporan tersebut.
Hasilnya menggambarkan gambaran suram industri fesyen: hampir separuh dari 65 perusahaan belum mengungkap bagaimana mereka melakukan penilaian risiko hak asasi manusia dalam rantai pasok mereka, dan hanya 11 persen yang mengungkap langkah-langkah yang telah diambil untuk menerapkan upah layak.
Skor rata-rata perusahaan yang dijadikan acuan adalah 21 dari 100, dengan 20 persen merek mendapatkan skor lima atau kurang, dan hanya tiga yang mendapatkan skor di atas 50: Lululemon (63), Puma (58), dan Adidas (55). Sektor pakaian mewah mendapatkan skor di bawah rata-rata, yaitu 19, dengan skor rendah dari Burberry (19), Moncler (18), Tapestry (16), Hermès (12), Prada (9), LVMH (6), dan Ferragamo (4).