Bumbu Gulai, Jejak Rempah dan Warisan Rasa dari Ranah Minang

11 hours ago 8

Liputan6.com, Jakarta Bicara tentang masakan Indonesia, tidak lengkap rasanya tanpa menyebut gulai, hidangan berkuah santan kental yang harum dan kaya rempah. Dari Sabang sampai Merauke, variasi gulai hadir dalam berbagai bentuk dan rasa, tetapi tidak ada yang lebih ikonik dibanding gulai khas Minangkabau. Cita rasa yang kuat, kuah yang kental, dan teknik masak turun-temurun menjadikan gulai bukan hanya makanan, melainkan representasi kebudayaan.

Gulai tidak hadir begitu saja. Ia berkembang dari akulturasi panjang antara budaya lokal dan pengaruh luar, terutama dari India. Warna kuning-oranye, aroma daun jeruk, dan kekentalan santan menjadikannya mudah dikenali. Lebih dari sekadar kuliner, bumbu gulai khas Minang adalah bentuk ekspresi dari perjalanan sejarah, spiritualitas, dan bahkan identitas sosial masyarakat Sumatera Barat.

Di tengah gempuran makanan cepat saji dan selera instan, gulai tetap bertahan, meski pelan-pelan tergerus oleh zaman. Namun demikian, selama bumbu gulai Minangkabau tetap diracik dengan cinta dan kesetiaan pada akar budaya, maka warisan kuliner ini akan terus hidup dari generasi ke generasi. Berikut ulasan Liputan6.com tentang bumbu gulai, Senin (21/7/2025).

Gulai dalam Budaya Minang

Gulai Minangkabau tidak sekadar makanan; ia adalah narasi panjang pertemuan budaya. Menurut sejarawan Fadly Rahman, wilayah Minangkabau merupakan simpul penting dalam jalur perdagangan rempah dunia.

Terletak di jalur menuju Selat Malaka, Sumatera Barat menjadi tempat persinggahan bangsa India, Arab, bahkan Eropa. Interaksi ini menghasilkan persilangan budaya yang turut mempengaruhi kuliner lokal, gulai adalah salah satu produk dari akulturasi tersebut.

Kehadiran gulai diperkirakan mulai berkembang sekitar abad ke-8 M, seperti dicatat oleh Indro Prastowo dkk. dalam Diversity of Indonesian Offal-based Dishes. Ketika Islam mulai mendominasi wilayah ini pada abad ke-17, daging nonhalal dalam gulai digantikan dengan ayam, sapi, atau kambing sesuai syariat. Transformasi ini menjadikan gulai sebagai hidangan utama dalam perjamuan adat, perayaan keagamaan, dan menu wajib di rumah makan Padang.

Tak heran jika dalam Kokki Bitja atawa Kitab Masak Masakan India jang Bahroe dan Semporna (1857) karya Nonna Cornelia, muncul resep “Goelei Ajam atau Daging” yang meski belum mengarah spesifik pada gaya Minang, menunjukkan jejak kuliner ini telah lama berkembang. Gulai menjadi simbol diaspora Minangkabau, mengikuti orang-orang Minang merantau ke seluruh Indonesia, menyebar melalui rumah makan Padang yang kini ikonik.

Bahan Bumbu Gulai Minang, Komposisi Sakral Cita Rasa

Ciri khas utama gulai Minangkabau terletak pada bumbunya. Bumbu gulai bukan sembarang racikan, melainkan hasil olahan kompleks dari rempah-rempah yang telah digunakan secara turun-temurun. Komposisinya sarat makna dan keharusan: setiap bahan memiliki peran dalam membentuk cita rasa yang kaya, berlapis, dan autentik.

Merujuk pada berbagai buku masak dan riset kuliner, berikut bahan utama bumbu gulai Minang:

Bumbu Halus (Wajib Ada):

  • Bawang merah dan bawang putih – dasar rasa gurih
  • Cabai merah keriting – untuk warna dan rasa pedas
  • Kemiri – untuk tekstur dan kekayaan rasa
  • Kunyit – memberikan warna kuning khas
  • Jahe dan lengkuas – untuk aroma dan rasa segar
  • Jinten dan ketumbar – menambah kedalaman rasa
  • Pala dan merica – memperkuat rasa pedas hangat
  • Kapulaga dan kayu manis – pengaruh India yang membumbui aroma

Bahan Tambahan:

  • Santan kelapa – sumber kekentalan dan kelembutan rasa
  • Daun kunyit dan daun jeruk purut – penambah aroma khas
  • Serai dan daun salam – pengikat rasa dan aroma
  • Daun kari – aroma eksotik, pengaruh India Selatan
  • Cengkeh – sentuhan manis-pedas di latar belakang

Penggunaan jeruk purut, seperti disebut dalam Madhur Jaffrey’s Ultimate Curry Bible, adalah warisan inovasi kari yang diserap dalam budaya Minang. Bumbu-bumbu ini bukan sekadar untuk rasa, tetapi simbol dari kompleksitas budaya Minangkabau.

Gulai dan Identitas Minangkabau

Namun, tidak semua berjalan mulus. Banyak jenis gulai tradisional Minang yang kini mulai ditinggalkan. Generasi muda yang lebih menyukai makanan praktis kurang mengenal gulai seperti gulai banak (otak sapi), gulai umbu karambia (umbut kelapa), atau gulai jariang (jengkol). Selain karena bahan baku sulit, perubahan gaya hidup serta preferensi rasa juga memengaruhi eksistensi gulai-gulai ini.

Ian Cook & Philip Chang dalam The World on a Plate mengingatkan bahwa kuliner selalu berubah dan berinovasi, tetapi harus tetap menjaga akar identitasnya. Inovasi pada gulai ayam Minangkabau boleh saja dilakukan, tetapi mengganti bumbu dengan versi instan justru merusak warisan budaya. Rempah bukan hanya soal rasa, melainkan jati diri dan sejarah.

Modernisasi tidak boleh menjadikan bumbu gulai sebagai korban. Oleh karena itu, dokumentasi resep, edukasi generasi muda, serta pelestarian lewat digitalisasi resep tradisional perlu terus digalakkan. Gulai Minangkabau bukan sekadar makanan, tetapi ingatan kolektif dan kebanggaan bersama.

FAQ Seputar Masakan Minang

Q: Apa perbedaan utama antara gulai Minang dan kari India?

A: Gulai Minang menggunakan santan lebih banyak, warnanya cenderung kuning-oranye karena kunyit, dan lebih mengandalkan rempah segar lokal seperti daun jeruk purut dan daun kunyit. Kari India cenderung lebih kompleks dalam penggunaan bumbu kering dan tidak selalu bersantan.

Q: Apakah semua gulai Minangkabau menggunakan santan?

A: Ya, santan adalah unsur penting dalam gulai Minang. Namun, kekentalan dan jumlah santan bisa bervariasi tergantung jenis gulai dan daerahnya.

Q: Apa itu daun ruku-ruku yang digunakan dalam gulai Minang?

A: Daun ruku-ruku adalah daun kemangi khas Sumatera Barat yang memiliki aroma khas. Ini jarang digunakan di daerah lain dan menjadi ciri khas beberapa varian gulai Minang.

Q: Kenapa banyak gulai tradisional Minang mulai ditinggalkan?

A: Karena kesulitan bahan, waktu masak yang lama, serta preferensi generasi muda terhadap makanan instan. Beberapa jenis gulai juga dianggap tidak praktis atau kurang sehat.

Q: Bagaimana cara melestarikan masakan tradisional Minang?

A: Melalui dokumentasi resep, edukasi kuliner di sekolah dan media, inovasi menu yang tetap mempertahankan rempah, serta promosi melalui platform digital dan komunitas pecinta kuliner.

Sumber Rujukan:

  1. Indro Prastowo, dkk. Diversity of Indonesian Offal-based Dishes
  2. Fadly Rahman, Webinar “Perjalanan Rantau: Lapau Nagari Kapau”, Aksara Pangan (2020)
  3. Nonna Cornelia, Kokki Bitja atawa Kitab Masak Masakan India jang Bahroe dan Semporna (1857)
  4. Madhur Jaffrey, Madhur Jaffrey’s Ultimate Curry Bible
  5. Ian Cook & Philip Chang, The World on a Plate: Culinary Culture, Displacement and Geographical
  6. Kompilasi artikel kuliner Minang dan sejarah makanan tradisional Indonesia
Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |