Liputan6.com, Jakarta - Praktik perburuan liar di Taman Nasional Meru Betiri cukup meresahkan masyarakat dan merugikan upaya pelestarian, sehingga perlu penindakan tegas. Seperti penangkapan seorang pelaku perburuan berinisial SI baru-baru ini.
Penangkapan ini merupakan hasil kolaborasi antara Balai Penegakan Hukum Kehutanan (Gakkum) Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabalnusra), bersama Balai Taman Nasional Meru Betiri. Pelaku ditangkap pada Rabu, 11 Juni 2025 sekitar pukul 14.11 WIB di kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri, dengan barang bukti berupa daging hasil buruan yang disimpan dalam kantong plastik putih.
Penangkapan bermula saat petugas Polisi Kehutanan (Polhut) Taman Nasional Meru Betiri melakukan patroli rutin di dalam kawasan hutan. Tim patroli mencurigai gerak-gerik seorang pengendara motor yang melintas di jalur tidak resmi dalam kawasan hutan.
Setelah dihentikan dan diperiksa, petugas menemukan daging satwa liar dalam kantong plastik yang diduga kuat berasal dari perburuan ilegal. Pelaku berinisial SI langsung diamankan di lokasi kejadian.
Titik Rawan Aktivitas Perburuan Liar
Tim patroli kemudian melakukan penyisiran lanjutan dan menemukan beberapa jerat aktif yang masih terpasang di jalur lintasan satwa, memperkuat dugaan bahwa area tersebut merupakan titik rawan aktivitas perburuan liar. Kepala Balai TN Meru Betiri segera berkoordinasi dengan Kepala Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Jabalnusra untuk menyerahkan pelaku dan barang bukti guna diproses lebih lanjut sesuai ketentuan hukum.
Menindaklanjuti koordinasi tersebut, Balai Gakkum segera mengirim tim penyidik ke Taman Nasional Meru Betiri untuk menangani pelaku dan barang bukti, serta melakukan pemeriksaan terhadap pelaku dan saksi-saksi yang berada di sekitar lokasi kejadian.
Dari hasil pemeriksaan awal, petugas mengamankan sebanyak 53 kilogram daging satwa liar yang diduga kuat berasal dari hasil perburuan ilegal. Saat ini, jenis satwa buruan tersebut masih dalam proses identifikasi melalui uji DNA oleh tim ahli. Dugaan sementara mengarah pada daging banteng, rusa, babi hutan, dan satwa endemik lainnya yang termasuk dalam kategori satwa dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Hukuman Penjara hingga Denda Paling Sedikit Rp200 Juta
SI telah ditetapkan sebagai tersangka pada 12 Juni 2025 dan kini ditahan di Rumah Tahanan Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Tahti) Polda Jawa Timur, dengan masa penahanan awal selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.
Penetapan tersangka dilakukan berdasarkan Pasal 33 ayat (2) huruf e dan/atau huruf g jo. Pasal 40B ayat (1) huruf e dan/atau ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Tindak pidana ini diancam dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp5 miliar. Kepala Balai Taman Nasional Meru Betiri, RM Wiwied Widodo, mengapresiasi langkah cepat dan kolaboratif dari Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Jabalnusra dalam penanganan kasus ini.
Menurutnya, penindakan ini merupakan bukti nyata komitmen negara dalam menjaga kawasan konservasi dan melindungi satwa liar di dalamnya. "Satwa seperti rusa, primata arboreal, dan spesies endemik lainnya memainkan peran penting sebagai penyebar biji dan penjaga struktur kanopi hutan. Melindungi mereka berarti menjaga regenerasi hutan dan kesinambungan ekosistem bagi generasi mendatang," tegasnya.
Penegakkan Hukum untuk Wibawa Kawasan Konservasi
Sementara itu, Aswin Bangun, Kepala Balai Penegakan Hukum Kehutanan Wilayah Jabalnusra, menyatakan bahwa perburuan liar di kawasan taman nasional bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan sinyal adanya tekanan sistemik terhadap kawasan yang menjadi pusat-pusat keanekaragaman hayati nasional.
Menurutnya penegakan hukum ini tidak hanya berorientasi pada aspek hukum pidana, tetapi juga merupakan bagian dari upaya menjaga kedaulatan dan wibawa kawasan konservasi, dalam hal ini Taman Nasional Meru Betiri, sebagai ruang hidup satwa liar dan simbol kehormatan ekologis bangsa ini.
"Kawasan konservasi adalah benteng terakhir dalam mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia dari tekanan eksploitasi dan kejahatan terorganisir,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa penanganan kasus ini akan dikembangkan untuk mengungkap pola, jaringan, serta aktor-aktor lain yang terlibat dalam perburuan ilegal. Penegakan hukum konservasi ke depan akan diperkuat dengan pendekatan berbasis intelijen, pengawasan siber, koordinasi antar lembaga, serta partisipasi aktif masyarakat dalam sistem pengaduan pelanggaran kehutanan.