Model AI Tembus Majalah Vogue, Disambut Seruan Boikot

1 month ago 54

Liputan6.com, Jakarta - Majalah Vogue Amerika edisi Agustus 2025 tengah jadi sorotan. Bukan hanya karena sampulnya menampilkan aktris Anne Hathaway, yang menarik perhatian setelah syuting sekuel "The Devil Wears Prada," tapi juga disebabkan iklan perusahaan pakaian asal California, Guess.

Sekilas, tidak ada yang tampak aneh, melansir CNN, seperti dikutip Jumat (1/8/2025). Kampanye itu menampilkan seorang perempuan Kaukasia berambut pirang bergelombang, pipi merona, dan gigi sempurna, memamerkan senyum lebarnya, mengenakan gaun panjang bergaris dengan tas selempang senada.

Di foto lain, ia mengenakan playsuit bermotif bunga dengan tali serut yang mengencangkan pinggangnya. Namun, melalui catatan kaki di halaman tersebut, terungkap bahwa model tersebut dibuat menggunakan kecerdasan buatan alias AI.

Kampanye menampilkan model AI ini dikembangkan Seraphinne Vallora, sebuah agensi pemasaran berbasis AI di London, yang karyanya juga telah ditampilkan di berbagai judul termasuk Elle, The Wall Street Journal, dan Harper's Bazaar. Wacana seputar foto AI dipicu pengguna TikTok @lala4an.

Picu Perdebatan sampai Seruan Boikot

Terungkapnya keberadaan model AI di dalam majalah Vogue memicu perdebatan tentang apa artinya bagi para model di dunia nyata yang menuntut representasi dan keberagaman yang lebih besar. Juga, bagi konsumen, terutama kaum muda, yang sering kali menghadapi standar kecantikan yang tidak realistis.

Mendapati itu, sejumlah orang telah menyerukan boikot terhadap Guess dan Vogue. Meski kampanye Guess merupakan keputusan komersial, pencetakannya tetap memerlukan persetujuan internal di Vogue.

Seorang juru bicara Condé Nast mengatakan pada CNN bahwa model AI belum pernah muncul secara editorial di Vogue. Meski demikian, model yang dibuat secara digital telah ditampilkan dalam edisi internasional untuk judul tersebut: Vogue Singapura sebelumnya menampilkan avatar yang dihasilkan AI dalam edisi Maret 2023.

Valentina Gonzalez dan Andreea Petrescu, pendiri Seraphinne Vallora yang berusia 25 tahun, yakin kemarahan di balik kampanye Guess tidak pada tempatnya. Petrescu menjelaskan, "Orang-orang berpikir gambar-gambar ini hanya dibuat AI, padahal itu tidak benar. Kami punya tim, dan kami juga masih mempekerjakan model."

Masih Rekrut Model Sungguhan

Gonzalez dan Petrescu dihubungi salah satu pendiri Guess, Paul Marciano, untuk membuat model AI bagi merek tersebut, kata mereka. Setelah meninjau beberapa draf, Marciano memilih model pirang (Vivienne) dan berambut cokelat (Anastasia) yang dibuat secara digital untuk pengembangan lebih lanjut.

Keduanya akhirnya ditampilkan dalam iklan Guess, yang muncul di Vogue dan majalah lain, kata Gonzalez, meski hanya Vivienne yang viral. Untuk membuat kampanye tersebut, Seraphinne Vallora mempekerjakan seorang model sungguhan, yang, selama seminggu, difoto di studio mengenakan pakaian Guess.

Hal itu memengaruhi tampilan pakaian pada model AI, kata Gonzalez. "Kami perlu melihat pose apa yang paling cocok untuk produk tersebut, dan bagaimana tampilannya pada perempuan sungguhan. Kami tidak dapat menghasilkan gambar jika kami tidak memiliki gambaran yang jelas tentang posisi apa yang paling cocok."

Ketika ditanya mengapa merek tidak menggunakan model sungguhan dalam iklan mereka, Petrescu berpendapat bahwa AI memberi klien pilihan dan efisiensi lebih besar, karena memerlukan waktu lebih sedikit dan anggaran lebih kecil untuk dijalankan dibandingkan kampanye pemasaran konvensional.

Tidak Hanya Guess

Guess bukan satu-satunya merek yang menggunakan model AI. Juli lalu, Mango meluncurkan kampanye pertamanya yang menggunakan AI untuk mempromosikan pakaian bagi remaja putri.

Di salah satu gambar, seorang perempuan muda terlihat mengenakan setelan co-ord warna-warni. Meski pakaian yang ditampilkan asli dan tersedia untuk dibeli, model tersebut sepenuhnya merupakan hasil rekayasa AI.

Pada Maret 2023, Levi's menyatakan akan mulai menguji model yang menggunakan AI untuk memastikan lebih banyak variasi bentuk tubuh dan warna kulit dalam pemasarannya. Peluncuran-peluncuran tersebut juga menuai kritik.

Beberapa pihak memandang kreasi AI untuk seorang model, terutama yang berkulit berwarna, sebagai cara bagi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan dari keberagaman tanpa perlu berinvestasi, sekaligus berpotensi menyingkirkan model profesional dari pekerjaan mereka.

Pihak lain khawatir langkah ini juga akan berdampak negatif pada mata pencaharian para fotografer, penata rias, dan kreator lain yang secara tradisional terlibat dalam pembuatan kampanye.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |