Riset Pengganti Plastik dan Sunscreen Berbahan Serbuk Sari Dikembangkan di Singapura

3 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah tantangan global terkait sampah plastik yang sulit terurai, seorang ilmuwan dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura menemukan cara menggantinya dengan bahan alami. "Teknologi untuk mendaur ulang plastik sebenarnya ada, tapi orang-orang tidak melakukannya," katanya, menyebut biaya tinggi dan sifat plastik yang dapat bertahan ratusan tahun di lingkungan, mengutip The Straits Times, Senin, 6 Oktober 2025.

Profesor Cho Nam-joon menekankan bahwa fokusnya bukan mendaur ulang plastik, melainkan menggantinya dengan serbuk sari. Selama hampir satu dekade, Prof. Cho meneliti dan mengembangkan penggunaan sporopollenin, zat alami yang membentuk lapisan luar serbuk sari dan sangat kuat sehingga dijuluki "intan dunia alami".

Biopolimer ini melindungi materi genetik tanaman, memungkinkan mereka bertahan pada suhu tinggi, asam kuat, bahkan waktu, dengan serbuk sari yang masih ditemukan utuh di fosil. Ia menegaskan bahwa fokus timnya adalah mengganti plastik, bukan sekadar mendaur ulang. Timnya telah mengembangkan berbagai aplikasi sporopollenin, termasuk kemasan biodegradable dan film pendingin untuk mobil.

Selain itu, kemampuan sporopollenin menyerap sinar ultraviolet (UV) membuka jalan bagi inovasi tim Prof. Cho, yaitu sunscreen berbasis serbuk sari yang alami, menyejukkan, dan tidak membahayakan kehidupan laut. Tim penelitian Prof. Cho berhasil memproses serbuk sari bunga camellia menjadi gel yang mudah diaplikasikan pada kulit manusia.

"Penelitian kami bertujuan mengembangkan cara memproses butiran serbuk sari menjadi bentuk gel sehingga mudah diterapkan pada kulit manusia," jelasnya.

Inovasi Sunscreen Berbasis Serbuk Sari

Penelitian mereka yang diterbitkan di jurnal Advanced Functional Materials pada 4 September 2025 menunjukkan bahwa sunscreen ini membentuk lapisan tipis, bahkan lebih tipis dari rambut manusia, namun efektif melindungi dari sinar UV. Dalam simulasi paparan sinar matahari, mikrogel dari serbuk sari camellia lebih efektif menurunkan suhu kulit dibandingkan sunscreen komersial, menjaga kulit tetap 5°C lebih dingin selama 20 menit.

Efek pendinginan ini dikaitkan dengan kemampuan serbuk sari menyerap lebih sedikit energi pada spektrum cahaya tampak hingga dekat inframerah. Sunscreen ini dapat memblokir sekitar 97 persen sinar UV atau setara dengan SPF 30.

Mengenai alergi, Prof. Cho mengatakan, "Jika digunakan seperti ini, serbuk sari tidak lagi menjadi bahan alergenik, limbah, atau debu. Ia menjadi bahan yang bernilai tinggi, setara dengan pasir silika."

Proses berbasis air digunakan untuk menghilangkan isi serbuk sari yang menyebabkan alergi, sehingga aman bagi semua pengguna, termasuk mereka yang memiliki riwayat alergi.

Dampak Lingkungan dan Keamanan

Sunscreen berbasis serbuk sari juga terbukti tidak membahayakan terumbu karang. Dalam uji laboratorium, sunscreen komersial menyebabkan pemutihan karang dalam dua hari dan kematian karang pada hari keenam, sedangkan sunscreen berbasis serbuk sari tidak memengaruhi kesehatan karang hingga 60 hari.

Craig Downs, direktur eksekutif Haereticus Environmental Laboratory, mengatakan, "Penemuan ini bisa bernilai miliaran dolar AS per tahun karena bisa menggantikan banyak senyawa petrokimia beracun yang saat ini digunakan dalam produk sunscreen dan anti-penuaan."

Prof. Cho menambahkan bahwa timnya sedang berdiskusi dengan perusahaan kosmetik global untuk mengkomersialkan produk ini, tetapi ia berharap dapat memperoleh dana publik untuk fasilitas pilot agar produksi skala besar memungkinkan masyarakat menikmati berbagai aplikasi, termasuk sunscreen.

Meski begitu, Prof Adrian Kuah dari James Cook University menekankan, "Jika proses yang diusulkan membutuhkan energi tinggi atau melibatkan bahan kimia berbahaya, maka keuntungan lingkungan dari serbuk sari bisa berkurang."

Transformasi Limbah Menjadi Sumber Daya

Ia menambahkan bahwa penggunaan serbuk sari dapat mengurangi ketergantungan pada mineral seperti titanium dioksida atau zinc oksida, yang membutuhkan energi tinggi untuk ekstraksi dan produksi.

Selain sunscreen, tim penelitian Prof. Cho mengembangkan lebih dari 10 aplikasi dari sporopollenin, termasuk kemasan biodegradable dan film pendingin. Prof Cho juga menjabat sebagai direktur NTU Centre for Cross Economy yang diluncurkan pada 2024, bertujuan menemukan metode pemrosesan terjangkau untuk memanfaatkan produk samping dan limbah, seperti kulit gandum dan kopi.

"Bahan hanya dianggap sebagai limbah karena tidak ada teknologi atau ilmu untuk memanfaatkannya," kata Prof. Cho. "Jika Anda bisa mengumpulkan serbuk sari dari pohon, Anda tidak perlu menebangnya. Ini memungkinkan petani menghasilkan lebih banyak uang daripada hanya menjual kredit karbon," imbuhnya.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |