Liputan6.com, Jakarta - Fast fashion menawarkan pakaian murah dan sesuai tren, tetapi menghasilkan sekitar 12 kg limbah tekstil per orang setiap tahun di Eropa, dan hanya satu persen yang didaur ulang menjadi pakaian baru. Industri ini memproduksi terlalu banyak dan cepat, sehingga Uni Eropa mulai menerapkan pajak serta regulasi baru untuk memperlambat laju tersebut.
Melansir The Conversation, Minggu, 19 Oktober 2025, hingga 2021, jutaan paket dari platform seperti Shein dan Temu bernilai di bawah 22 euro (Rp424 ribu) tiba di Eropa tanpa membayar PPN, memberi mereka keuntungan atas bisnis lokal. Sejak itu, semua impor non-Uni Eropa dikenai pajak.
Komisi Eropa juga mengusulkan biaya pemrosesan 2 euro (Rp38 ribu) per kiriman dan penghapusan pembebasan bea impor untuk barang di bawah 150 euro (Rp2,8 juta). Langkah-langkah ini mencegah penjual non-Uni Eropa memecah pesanan serta memperkuat pengawasan terhadap produk yang sering dibuat dalam kondisi tidak berkelanjutan atau dengan praktik kerja buruk.
Pada 2024, 91 persen pengiriman e-commerce di bawah EUR150 berasal dari Tiongkok. Pada tahun yang sama, Brussels menyetujui Direktif (EU) 2024/825 untuk memerangi greenwashing. Mulai 2026, merek tidak boleh lagi mengklaim diri "netral karbon" atau "ramah lingkungan" tanpa bukti yang dapat diverifikasi maupun menyembunyikan informasi tentang daya tahan dan kemampuan perbaikan produk.
Pajak Fast Fashion di Prancis dan Inggris
Prancis menjadi negara Eropa pertama yang menyetujui pajak atas fast fashion. Pada Juni 2025, Senat Prancis menyetujui undang-undang yang memperkenalkan sistem penalti progresif per pakaian. Brand ultra fast fashion harus membayar tambahan 5 euro (Rp96 ribu) per item, yang akan meningkat menjadi 10 euro (Rp193 ribu) pada 2030.
Besaran pajak ditentukan oleh dampak lingkungan dan praktik perusahaan, dengan batas maksimum 50 persen dari harga jual sebelum PPN. Langkah ini menegaskan bahwa pakaian murah dan sekali pakai harus menanggung biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, sementara brand yang memproduksi pakaian lebih tahan lama dan dapat didaur ulang mendapat keuntungan.
Model pajak ini terinspirasi dari kebijakan lingkungan yang sudah diterapkan pada bahan bakar dan plastik sekali pakai, bertujuan mengubah perilaku industri menuju produksi yang lebih berkelanjutan.
Di Inggris, pada 2019, komite Parlemen merekomendasikan pajak satu sen per pakaian untuk mendanai pengumpulan dan daur ulang tekstil. Meskipun belum diterapkan, usulan ini memicu diskusi tentang Extended Producer Responsibility, di mana produsen membayar sesuai jumlah limbah yang mereka hasilkan.
Negara-Negara Eropa yang Mendorong Perbaikan dan Daur Ulang
Beberapa negara Eropa memilih untuk memberi insentif bagi perbaikan pakaian daripada menggantinya dengan yang baru. Di Swedia, PPN untuk jasa perbaikan pakaian dan alas kaki dikurangi dari 25 persen menjadi 12 persen. Di Belanda, tarif rendah sebesar 9 persen berlaku untuk layanan seperti menjahit, mengganti resleting, dan menyesuaikan ukuran pakaian.
Mulai 2025, Prancis juga akan menerapkan tarif rendah sebesar 5,5 persen untuk perbaikan tekstil dan alas kaki, disertai dengan "voucher perbaikan" yang memberi potongan harga bagi konsumen yang memperbaiki pakaian mereka di bengkel bersertifikat. Tujuan utama dari kebijakan ini sederhana, yaitu membuat biaya perbaikan pakaian menjadi lebih murah daripada membeli yang baru.
Sementara itu, di Spanyol, Undang-Undang 7/2022 mewajibkan merek tekstil untuk membiayai sistem pengumpulan dan daur ulang serta menyediakan informasi tentang daya tahan dan kemampuan perbaikan produk mulai 2025. Meski langkah ini sudah maju, Spanyol masih tertinggal karena belum menerapkan pajak atau insentif fiskal seperti Prancis, Swedia, dan Belanda.
Dampak dan Harapan untuk Masa Depan
Dampak dari kebijakan pajak ini sudah mulai terlihat. Penghapusan berbagai pengecualian pajak menciptakan persaingan yang lebih adil dan memaksa platform internasional besar menyesuaikan strategi harga serta logistik mereka.
Pengurangan PPN untuk layanan perbaikan telah menghidupkan kembali bengkel-bengkel lokal, mendukung usaha kecil, dan perlahan mengubah kebiasaan konsumen. Sementara itu, pajak baru seperti yang diterapkan di Prancis membuat pakaian sekali pakai menjadi lebih mahal, mendorong merek besar memperbaiki desain, meningkatkan keterlacakan, dan menggunakan material yang lebih berkelanjutan.
Secara keseluruhan, kebijakan pajak dan regulasi ini bertujuan untuk mengubah cara kerja industri tekstil. Pakaian murah dan sekali pakai tidak lagi menjadi pilihan utama, sedangkan memperbaiki, menggunakan kembali, dan membeli produk berkualitas diharapkan menjadi kebiasaan baru.
Jika langkah-langkah ini dijalankan secara konsisten, industri tekstil Eropa berpotensi menjadi salah satu yang paling maju dalam hal keberlanjutan, sekaligus menempatkan Eropa sebagai pemimpin global dalam upaya melawan fast fashion.