KLH Rilis 2 Peraturan Pemerintah Terkait Tata Kelola Lingkungan dan Mangrove demi Redam Dampak Krisis Iklim

1 month ago 43

Liputan6.com, Jakarta - Dampak krisis iklim yang kian terasa memerlukan aksi yang lebih agresif untuk meredam lajunya. Pemerintah menanggapinya dengan memperkuat kerangka hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

Total ada dua peraturan pemerintah terkait hal itu yang dirilis, yakni PP Nomor 26 Tahun 2025 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan PP Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (PPEM). Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mulai menyosialisasikan kedua peraturan itu kepada publik.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup (WamenLH) Diaz Hendropriyono mengatakan bahwa penerbitan kedua PP itu merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru terealisasi setelah 16 tahun. Ia pun mengajak kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah untuk segera menyusun regulasi turunan, termasuk Peraturan Daerah RPPLH, guna menjamin keberhasilan implementasinya.

"Dengan adanya dua PP ini saya harap tata kelola RPPLH dan RPPEM menjadi lebih terstruktur dan rapi," kata Diaz dalam forum sosialisasi kedua PP di Jakarta, Selasa, 29 Juli 2025.

Soroti Buruknya Tata Kelola Lingkungan di Indonesia

Dalam kesempatan itu, Diaz menyinggung buruknya tata kelola di banyak daerah sebagai penyebab masalah lingkungan terjadi berulang kali. Ia mencontohkan masalah banjir. Menurut dia, curah hujan di Jakarta sebenarnya tidak setinggi Singapura, tetapi hujan sebentar saja, jalanan langsung tergenang air di mana-mana hingga menghambat mobilitas.

"Kalau kita pikir-pikir, banjir di Indonesia, di kota-kota besar sering terjadi, sedikit-sedikit banjir, misalnya di Bogor, Jakarta, Bandung, Semarang. Hujan tidak seberapa sering tetapi banjir banyak terjadi, padahal curah hujan Jakarta antara 1,500 sampai 2000 mm/tahun termasuk lebih rendah dari Singapura, dan hanya sedikit lebih tinggi dari Tokyo," ucapnya.

"Pastinya karena ada kesalahan tata ruang, alih fungsi lahan, konversi hutan, lahan gambut, pembangunan di Daerah Aliran Sungai (DAS), konversi hutan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kurang. Jadi kedepannya, pembangunan kita harus lebih memperhatikan faktor lingkungan hidup," sambung dia.

Ia pun mendesak pemerintah daerah segera menetapkan RPPLH sebagai dokumen perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. 

Tata Kelola Lingkungan Dimulai dari Perencanaan

Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan KLH/BPLH, Sigit Reliantoro, menekankan bahwa RPPLH dan PPEM memuat pendekatan perencanaan jangka panjang berbasis data dan sains lingkungan. "RPPLH adalah scenario planning, perencanaan 30 tahun ke depan akan seperti apa, untuk itu kita harus tahu kondisi eksisting (baseline) kita seperti apa," ia menjelaskan.

Bersamaan dengan itu, KLH juga menggandeng Forum Rektor untuk memperkuat sinergi akademik dan kebijakan demi pengelolaan lingkungan hidup yang ilmiah, adil, dan berkelanjutan. Menurut Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, kolaborasi dengan perguruan tinggi dinilai vital untuk memperkuat audit lingkungan, validasi data, dan pengawasan berbasis kajian independen.

Bahkan dalam penegakan hukum, Menteri menekankan pentingnya kehadiran para ahli dari kampus. Begitu pula dalam proses penyusunan RPPLH, dukungan teknis dari kampus dinilai menjadi kunci mempercepat penyusunan dokumen ini di seluruh Indonesia.

"Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 2024 tercatat pada angka 71,79 (kategori “baik”), tetapi belum merata. Hanya 127 dari 514 kabupaten/kota yang memiliki RPPLH," kata MenLH di Jakarta, Senin, 28 Juli 2025.

Program Lanjutan Pengelolaan Mangrove

Pembahasan juga mencakup implementasi PP 27 yang menjadi dasar pengelolaan ekosistem mangrove secara nasional. Dari total 3,7 juta hektare mangrove, satu juta hektare masih perlu ditingkatkan kerapatannya.

KLH/BPLH mengaku menyiapkan program lanjutan rehabilitasi mangrove pasca mandat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove berakhir pada 31 Desember 2024. Program itu akan melibatkan kampus, komunitas lokal, dan mitra internasional untuk menjamin keberlanjutan ekosistem pesisir.

Tak hanya sebagai instrumen mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan mangrove yang diatur dalam PP 27 juga mendukung agenda ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Dukungan itu ditegaskan oleh Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Kemenko Pangan, Nani Hendiarti.

"Peran kami (Kemenko Pangan) menjadi semakin penting. Mangrove bukan hanya berperan sebagai solusi bencana dan perubahan iklim tapi juga pendukung sumber pangan dan penghidupan masyarakat pesisir," jelas Nani.

Forum sosialisasi ini dihadiri perwakilan dari berbagai kementerian/lembaga strategis, termasuk Kemenko Pangan, Sekretariat Kabinet, BPDLH Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, ATR/BPN, BRIN, dan Polri. Forum ini juga melibatkan sektor swasta dan BUMN, serta ditutup dengan diskusi panel mendalam bersama narasumber lintas kementerian dan pemangku kepentingan guna memperkuat sinergi dalam pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |