Liputan6.com, Kuta - Menteri Lingkungan Hidup (MenLH), Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan bahwa Indonesia akan membawa semangat “Lead by Example" dalam menjaga kelestarian lingkungan, terutama soal penanganan sampah plastik. Ini merujuk pada tema peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, "Hentikan Polusi Plastik."
“Pada Agustus 2025, Indonesia akan hadir di perundingan INC-5 (Intergovernmental Negotiating Committee) di Jenewa (Swiss), perundingan terakhir penyusunan konvensi global yang mengikat secara hukum untuk mengendalikan polusi plastik. Kami mendorong keadilan lingkungan dan akuntabilitas produsen global bagi negara berkembang," kata MenLH di puncak acara Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 di Kuta, Bali, Kamis, 5 Juni 2025.
Indonesia mengimpor hampir 60 persen biji plastik virgin, yang membuat "produsen global harus bertanggung jawab terkait beredarnya plastik di Tanah Air kita," sebut Hanif. Ia berujar, "Indonesia hadir bukan sebagai korban pencemaran global, tapi negara yang membawa solusi. Kepada seluruh gubernur, bupati, dan wali kota, kami serukan untuk segera memperkuat Perda (Peraturan Daerah) larangan plastik sekali pakai."
Plastik Tidak Dilarang, tapi ...
MenLH mengajak berbagai pihak membangun fasilitas pengelolaan sampah dan daur ulang sejak tingkat rumah tangga. "Kerahkan Zero Waste 2.0 sebagai visi bersama. Jadikan sekolah, pasar, tempat ibadah, dan kantor sebagai ruang edukasi lingkungan hidup tanpa sampah," ia berimbuh.
Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, kata MenLH, merujuk komitmen United Nation Enviromental Programme (UNEP) untuk menyudahi polusi plastik secara global. INC tahun lalu belum berbuah kesimpulan apapun, sehingga para pemerhati lingkungan dan pemimpin dunia, ingin masalah tersebut selesai di konferensi Agustus mendatang, kata Hanif.
"Plastik tidak dilarang dan memang diperlukan untuk meningkatkan efisiensi kecepatan pembangunan (ekonomi)," menurut MenLH. "Tapi, pengelolaan limbahnya harus jadi perhatian serius. Nulai dari tipe-tipe plastik yang digunakan, ukuran, sampai penarikan kembali (limbah plastik hasil produksi) dari lapangan harus jadi pertimbangan utama para produsen packaging di dalam melakukan bisnisnya."
Polusi Plastik
Polusi plastik global hari ini, sebut Hanif, sudah sangat mengkhawatirkan, karena sebagian besar "lari ke alam." Secara global, hanya 10 persen sampah plastik yang berhasil didaur ulang.
"Di Indonesia, berdasarkan sistem informasi pengelolaan sampah nasional, ada 39,1 persen (limbah yang terdaur ulang). Dari 39,1 persen, sekitar 20 persen di antaranya merupakan sampah plastik," MenLh menambahkan.
Sisanya, 40–60 persen sampah berada di badan-badan lingkungan yang kemudian jadi mikroplastik yang kini sudah terdeteksi di dalam tubuh kita. Menyongsong INC di Jenewa, kata Hanif, langkah-langkah diplomasi dan negosiasi sedang berjalan.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tengah mengirim tim untuk pra-INC guna merumuskan langkah-langkah negosisasi. "Kami juga meminta (tanggung jawab produsen), seperti para produsen migas terbesar yang menghasilkan napam yang kemudian diolah jadi plastik. Itu harus ada upaya bersama. Tidak hanya mereka menjual virgin plastic atau biji plastik murni pada kita, tapi juga ikut berkontribusi menanganinya."
Peta Jalan Pengurangan Sampah
Di dalam negeri, aturan peta jalan pengurangan sampah tengah diubah. "Di skenario peta jalan pengurangan sampah sekarang, itu 2030 baru akan turun. Coba bayangkan 20 persen total sampah adalah plastik. Kemudian hanya sekitar 31 persen dari 20 persen itu yang kita tahan, sehingga sampah plastiknya akan tertimbun banyak."
“Saya sedang mengubahnya melalui mekanisme regulasi yang ada. Sedang ada pembahasan antarkementerian dan pihak-pihak terkait sebelum kami menetapkan peraturan presiden berkaitan dengan itu," ia menambahkan. Kebijakan strategis nasional terkait penanganan sampah, kata dia, ditargetkan selesai paling lambat Agustus 2025.
"Kami akan mengadopsi kebijakan negara-negara lain, terutama Eropa, yang telah menyelesaikan masalah sampah plastik mereka, dan kami modifikasi dengan karakter di Indonesia," ungkap MenLH, seraya mencontohkan Denmark dengan skema pengelolaan sampah 100 persen oleh produsen.
"Negara akan menagihkan sejumlah produksi (barang) mereka. Jadi, semua produsen berada dalam satu naungan terkait penanganan sampah, membuat mereka membayar ke organisasi yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya," tandasnya.