Liputan6.com, Jakarta - Fast fashion telah ditunjuk-tunjuk sebagai sumber dampak lingkungan dunia mode, termasuk oleh merek-merek fesyen mewah. Salah satunya adalah Antoine, putra miliarder pemilik LVMH Bernard Arnault, yang menyatakan di atas panggung Sustainability Summit bahwa barang-barang mewah "berkelanjutan secara alami."
Namun, emisi LVMH membuktikan sebaliknya. Melansir Forbes, Minggu (25/5/2025), penelitian oleh Environmental Charity Hubbub, yang bermitra dengan University of Leeds, membantah mitos bahwa barang-barang fast fashion lebih "sekali pakai" daripada fesyen mewah. Pasalnya, harga mahal tidak menjamin kualitas maupun keawetan barang tersebut.
Pada 2022, Hubbub dan School of Design di University of Leeds merancang sebuah studi yang didanai oleh Primark untuk mengeksplorasi hubungan antara daya tahan dan harga pakaian. Didirikan 50 tahun lalu oleh Associated British Foods, merek fesyen Primark bertujuan menyediakan pilihan pakaian yang terjangkau bagi semua orang.
Dengan 70 ribu karyawan dan 450 toko di 17 negara, fesyen dengan harga terjangkau dari merek ini pernah membuatnya mendapat julukan "Primarni" pada tahun 2000-an—masa ketika mereka tampil bersama high-end fashion brand di British Vogue, Grazia, dan publikasi fesyen lain.
Harga Menentukan Ketahanan Produk?
Sekarang, majalah-majalah mewah menjauhi Primark. Sejak saat itu, mereka dan merek-merek lain yang "berorientasi pada harga" telah merasakan dampak kritik sosial dan lingkungan karena perubahan iklim,serta tragedi rantai pasokan yang mendorong mereka jadi pusat perhatian.
Studi tahun 2022 ini disusun dari pedoman ketahanan dalam The Clothing Longevity Protocol oleh LSM Waste and Resources Action Programme yang berbasis di Inggris dan Circular Business Models milik Ellen MacArthur Foundation. Studi berjudul "Worn Out: Is Price an Accurate Indicator for Clothing Durability" tersebut mencakup pengujian kinerja.
Ini termasuk abrasi tekstil, kekuatan jahitan, pemudaran, dan penyusutan, yang dikombinasikan dengan siklus pencucian dan pengeringan berulang di mesin cuci. Proses berulang untuk analisis hasil di seluruh siklus pengujian digunakan demi menunjukkan seberapa besar kemungkinan pemilik menolak, mengembalikan, atau berhenti mengenakan pakaian.
CEO Hubbub, Alex Robinson, mengatakan dalam sebuah wawancara, "Pengujian tersebut dikembangkan secara independen dan menganalisis 65 item pakaian di tiga kategori," termasuk kaus oblong, celana jins, dan hoodie.
Hasil Studi Ketahanan
Robinson menjelaskan bahwa keterlibatan Primark hanya terbatas pada "apa yang akan diselidiki dalam penelitian," dan studi itu dirancang, dilaksanakan, dianalisis, dan dilaporkan tanpa keterlibatan Primark.
Untuk celana jins perempuan, produk termahal yang diuji, yakni seharga 160─200 dolar AS, memiliki performa terbaik dan mendapat peringkat paling tahan lama. Namun, satu produk dengan harga antara 121─160 dolar AS memiliki performa sangat buruk.
Celana jins dengan harga antara 30─40 dolar AS dan 15─30 dolar AS memiliki performa sangat baik dan mendapat peringkat kedua dan ketiga. Secara keseluruhan, hasil pengujian menunjukkan sedikit perbedaan dalam performa ketahanan antara produk termahal dan dua produk dengan harga lebih rendah.
Hasil serupa muncul dari pengujian kaus, di mana dua dari tiga kaus dengan performa terbaik untuk wanita dan pria memiliki harga lebih rendah, yaitu di bawah 6,70 dolar AS atau 6,7─13,3 dolar AS.
"Tidak ada korelasi antara harga dan daya tahan," jelas Robinson, menambahkan bahwa temuan menarik lainnya adalah sikap konsumen terhadap harga pakaian.
Memperpanjang Umur Pakaian
"Jajak pendapat konsumen menunjukkan bahwa orang-orang tidak hanya percaya bahwa pakaian lebih mahal memiliki kualitas lebih baik, tapi mereka juga cenderung merawat pakaian lebih mahal," Robinson mengatakan. "(Penelitian) ini membuktikan bahwa semua pakaian layak dirawat, terlepas dari harganya."
Temuan ini didukung penelitian terpisah yang diterbitkan pada 2020 di University of Otago, yang menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen konsumen akan membuang kaus oblong murah setelah dicuci 10 kali.
Namun, kinerja dua kaus oblong dengan harga terendah yang diuji, yakni A: 2,15 dolar AS dan B: 5,5 dolar AS, menyoroti bahwa harga tidak selalu jadi indikator kinerja karena keduanya merespons pencucian dengan sangat berbeda. Penelitian tersebut juga menegaskan kembali bahwa konsumen cenderung menggunakan harga sebagai indikasi kualitas.
Maka itu, pelanggan seharusnya tidak hanya mempertimbangkan harga untuk mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi fesyen mereka. Memilih busana yang rantai pasoknya dapat ditelusuri dan memastikan ketahanan produk supaya bisa dipakai dalam waktu lama juga tidak kalah penting.