Sejarah Menggiling Bumbu yang Jadi Tradisi Penting Masyarakat di Jambi

2 months ago 51

Liputan6.com, Jakarta - Menggiling bumbu bagi masyarakat di Desa Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, Jambi bukan sekadar kegiatan memasak biasa. Tradisi ini mengandung nilai kebersamaan dan gotong royong yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Meski menghadapi tantangan modernisasi, masyarakat setempat terus berupaya melestarikan warisan budaya ini. Mengutip laman Indonesia Kaya, sebuah bangunan kokoh rumah tuo menjadi saksi bisu perjalanan sejarah yang telah berusia 700 tahun.

Rumah ini bukan sekadar bangunan, tetapi juga pusat kehidupan budaya, tempat tradisi ngiling bumbu terus diwariskan sebagai bagian dari identitas masyarakat setempat. Tradisi ini mengandung nilai kebersamaan, solidaritas, dan gotong royong yang menjadi inti kehidupan komunal.

Disebutkan bahwa ngiling bumbu biasanya digelar dalam berbagai momen penting, seperti persiapan turun ke ladang, panen raya, kenduri pernikahan, hingga pembangunan rumah baru. Sebagai bagian dari tradisi beselang, prosesi ini menciptakan suasana penuh canda tawa yang mempererat ikatan masyarakat, sekaligus menjaga nilai-nilai warisan leluhur agar tetap hidup di tengah perkembangan zaman. 

Dikenal Juga Sebagai Ba Usik Sirih

Para gadis sibuk menumbuk rempah-rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan serai, sementara yang lain asyik memarut kelapa untuk diolah menjadi santan. Semua bahan bumbu ini dikumpulkan dari ladang-ladang subur di sepanjang Sungai Lamuih, yang airnya mengalir hingga ke Sungai Tabir dan bermuara ke Sungai Batanghari.

Aktivitas ini mencerminkan harmoni antara manusia dan alam yang menjadi bagian penting dari tradisi. Namun, ngiling bumbu pada masa lalu bukan hanya soal menyiapkan bahan masakan.

Tradisi ini juga dikenal dengan istilah ba usik sirih bergurau pinang, yang menggambarkan pertemuan jodoh antara pemuda dan pemudi. Dengan pantun-pantun jenaka yang dilantunkan, pemuda memulai perkenalan mereka, menciptakan suasana hangat dan penuh keakraban di tengah prosesi gotong royong tersebut.

Sebuah pantun menjadi pembuka interaksi, diikuti dengan sesi balas-membalas pantun yang diselingi perkenalan nama. Para gadis pun menyambut pantun tersebut dengan gaya khas mereka. Selesai berbalas pantun, barulah belut hasil tangkapan para pemuda diserahkan kepada para gadis untuk dimasak. 

Tradisi Diikuti Prosesi Lainnya

Setelah para gadis selesai menggiling bumbu, tradisi berlanjut dengan ngukuih, yaitu memasak gulai belut yang dicampur daun pakis. Hidangan khas ini dimasak perlahan di atas tungku kayu, menghadirkan aroma harum yang menggugah selera.

Untuk melengkapi sajian, nasi dari padi ladang yang baru dipanen disiapkan sebagai pendamping. Proses penyajian makanan dilakukan di beberapa rumah sepanjang kompleks rumah tuo. Para tamu disuguhi gulai belut yang telah dipotong-potong dan dimasak bersama daun pakis hingga matang sempurna.

Tidak perlu khawatir dengan bau amis atau lumpur, karena daging belut telah dimasak dengan berbagai rempah, cabai, dan santan gurih, selama sekitar satu setengah jam, menciptakan cita rasa yang kaya dan lezat. Dalam tradisi ini, belut tak hanya dianggap sebagai bahan makanan, tetapi juga sebagai simbol yang melambangkan kekuatan dan kegigihan.

Memancing belut menjadi perlombaan tradisional yang sekaligus menguji kemahiran, kegagahan, dan mempererat ikatan sosial di antara para pemuda. Lebih dari itu, kegiatan memancing belut juga mengajarkan nilai kerja sama tim dan keterampilan, yang merupakan bagian dari kehidupan agraris masyarakat Rantau Panjang dan Tabir. 

Modernisasi Mengubah Ritual Ngiling Bumbu

Namun, modernisasi telah membawa perubahan pada ritual ngiling bumbu. Tradisi yang dulu menjadi ajang silaturahmi dan pertemuan bagi muda-mudi kini lebih banyak dilakukan oleh para ibu. "Sekarang, ngiling bumbu hanya jadi bagian dari beselang untuk memasak, dan itu dilakukan induk-induk. Kalau muda-mudi, perkenalan sekarang di HP bae," kata Ramuini (19), pelajar SMAN 2 Merangin.

Ngiling bumbu merupakan bagian tak terpisahkan dari beselang, tradisi gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Rantau Panjang. Setiap hentakan batu tumbuk dalam proses ini mengandung nilai-nilai yang memperkuat solidaritas dan mempererat hubungan antarwarga.

Meskipun menghadapi tantangan modernisasi, masyarakat Rantau Panjang terus berupaya mempertahankan ngiling bumbu agar tetap hidup. Tradisi ini lebih dari sekadar memasak; ia mencerminkan identitas budaya dan kearifan lokal yang telah diwariskan dari leluhur. Dengan menjaga tradisi ini, mereka memastikan bahwa nilai-nilai luhur tersebut tetap relevan di tengah perubahan zaman.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |