Psikolog Ungkap Peran Orangtua dan Sekolah Berantas Kekerasan Seksual di Lingkup Pendidikan

5 hours ago 4

Jakarta - Memberantas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan memang tidak mudah. Menurut Psikolog klinis Ratih Ibrahim, butuh peran serta orangtua hingga dukungan pada lingkup pendidikan.

"Langkah untuk memberantas kekerasan seksual terutama dalam konteks digital, memerlukan kerja sama dari berbagai pihak," terang Ratih Ibrahim, dilansir dari Antara, Kamis, 5 Juni 2025.

"Dimulai dari orangtua yang berperan untuk menjalin komunikasi terbuka dan suportif dengan anak, sehingga anak merasa aman dan tidak takut untuk bercerita," lanjut Ratih Ibrahim.

Psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia itu menambahkan, orangtua juga memiliki peran yang krusial untuk mendampingi dan mengedukasi anak tentang keamanan digital, misalnya bagaimana memilah konten yang boleh dibagikan melalui media sosial. Lebih jauh, pemerintah menurutnya juga berperan dalam memperkuat regulasi terkait konten digital yang melibatkan anak serta mempercepat proses pelaporan dan penanganan kasus anak.

Keberpihakan Sekolah pada Korban Kekerasan

"Pemerintah juga dapat berperan dalam mengembangkan sistem perlindungan anak berbasis digital yang bisa diakses masyarakat. Kolaborasi dengan komunitas juga dapat dilakukan untuk mendorong terlaksananya kampanye terkait lingkungan digital yang aman bagi anak," katanya lagi.

Sementara itu, instansi pendidikan berperan dalam menyediakan ruang aman bagi anak untuk dapat mengembangkan diri dan meningkatkan pengetahuan. Mengenai langkah pencegahan kekerasan seksual di ranah digital, ia mengusulkan agar sekolah dapat merancang kurikulum terkait pendidikan seksual sesuai usia serta kurikulum terkait pelatihan literasi digital yang aman untuk anak.

Sekolah juga dapat menyediakan layanan sistem pelaporan internal yang melindungi korban dan mendorong respons cepat.Ia menyerukan, bila menemukan kasus kekerasan seksual pada anak, perspektif yang harus digunakan adalah keberpihakan pada korban.

"Salah satu hal yang sangat penting adalah menjaga privasi korban. Ketika menemukan konten kekerasan seksual pada anak di media sosial, hal pertama yang harus dilakukan adalah berhenti menyebarkan konten," ujarnya.

Pernikahan Dini Setara Kekerasan Seksual

Selain itu, upaya melindungi identitas anak dengan tidak menyebarkan nama, foto, atau informasi pribadi korban, baik di media sosial maupun di grup percakapan juga patut dilakukan. "Kemudian, simpan bukti kekerasan dan pelaku penyebar kekerasan lalu segera laporkan konten tersebut pada pihak berwajib," pungkasnya.

Sementara itu,- Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menjadi sorotan setelah terungkap kasus pernikahan dini yang melibatkan anak berusia 15 dan 17 tahun di Lombok Tengah.

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram telah melaporkan kasus ini ke Polres Lombok Tengah sebagai bentuk penegakan hukum terhadap praktik pernikahan anak yang melanggar Undang-Undang Perkawinan.Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menegaskan bahwa pernikahan dini yang dilakukan di bawah umur merupakan bentuk kekerasan seksual.

"Pemerintah Indonesia telah berkomitmen melindungi hak anak dan mencegah pernikahan di bawah usia 19 tahun sesuai Undang-Undang Perkawinan," kata Arifah dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 26 Mei 2025.

Orangtua Memaksa Menikahkan Anaknya

"Bahkan, dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 4, pemaksaan perkawinan anak termasuk kekerasan seksual," tambahnya. Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, menjelaskan, pasangan pernikahan dini di NTB tersebut adalah SY (15) dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR (17) dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.

"Kami melaporkan seluruh pihak yang terlibat aktif dalam proses pernikahan dini ini, termasuk orang tua dan pihak penghulu yang menikahkan," kata Joko. Kasus ini mencuat di tengah proses dialog konstruktif antara Pemerintah Indonesia dengan Komite Konvensi Hak Anak di Jenewa pada awal Mei 2025.

 LPA Mataram dan Koalisi OMS Stop Kekerasan Seksual di NTB menilai upaya hukum yang sedang berjalan sangat penting untuk memberikan efek jera kepada orangtua yang memaksa menikahkan anaknya.

Meski demikian, mereka juga mengingatkan bahwa upaya penegakan hukum saja belum cukup untuk mengubah pola pikir masyarakat yang masih memegang nilai-nilai adat bertentangan dengan hukum positif.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |