MUA Tuntut Dolce & Gabbana Buntut Tidak Dibayar Berbulan-bulan Sebelum Dipecat

6 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Dua makeup artist (MUA) asal New York, Amerika Serikat (AS), mengatakan bahwa bekerja di Dolce & Gabbana sama sekali tidak glamor. Mereka mengklaim merek mewah itu tidak membayar keduanya dan "menghukum" mereka karena berbicara.

Melansir NY Post, Senin, 23 Juni 2025, Lisa Rodriguez (53) dan Leslie Bethel (57), yang bekerja di konter toko utama merek tersebut di Saks Fifth Avenue, menuduh dalam gugatan hukum di Mahkamah Agung Manhattan bahwa D&G Beauty secara rutin menunda pembayaran gaji mereka, menahan komisi, dan tidak memenuhi janji tunjangan asuransi.

"Kami sangat gembira bisa bekerja di pekerjaan impian mereka di industri kecantikan," kata dua MUA itu dalam gugatan tersebut. "Mimpi-mimpi itu segera berubah jadi mimpi buruk ketika D&G gagal memberi mereka pembayaran yang tepat waktu dan akurat."

Bethel dipekerjakan pada awal April tahun lalu dan Rodriguez mulai bekerja pada bulan berikutnya, tapi tidak satu pun dari MUA tersebut yang mendapatkan gaji selama sekitar enam minggu setelah mereka mulai bekerja. Keterlambatan pembayaran tidak pernah berhenti, menurut dokumen pengadilan.

Keluhan Mantan Staf

Setelah berulang kali mengemukakan masalah penggajian, Rodriquez hanya ditawari satu hari cuti berbayar untuk menutupi biaya keterlambatan pembayaran, klaimnya dalam litigasi per 9 Juni 2025.

Lalu pada Mei 2025, setelah diduga tidak mendapat bayaran selama tiga minggu, dia mengirimkan email yang berisi pernyataan putus asa. "Hai, bisakah seseorang mencari tahu mengapa saya belum dibayar?? Sudah tiga minggu. Saya belum dibayar tepat waktu selama setahun. Tolong, saya harus membayar sewa."

Beberapa hari kemudian, dia mengatakan dia ditarik ke sebuah rapat dan diberi tahu bahwa dia akan dipecat karena tidak memenuhi "standar Dolce" dan mengalami kesulitan "tetap pada jalurnya sendiri," klaimnya dalam berkas pengadilan.

Bethel mengaku mengalami masalah penggajian yang sama, dan harus meminjam uang dari teman dan keluarga agar tetap bertahan. Situasinya begitu tidak tertahankan hingga dia mengundurkan diri pada Januari 2025, dan mengklaim perusahaan bahkan tidak pernah membayarkan satu pun cek terakhirnya.

Digugat ke Pengadilan

Pasangan ini menggugat D&G Beauty bersama tiga bosnya atas pelanggaran upah, pelanggaran kontrak, dan pembalasan terhadap pelapor, menuntut pembayaran kembali, ganti rugi, dan kesempatan untuk diadili di depan juri. Hingga berita ini terbit, belum ada tanggapan resmi dari Dolce & Gabbana.

Sayangnya, ini bukan kasus tuntutan satu-satunya di lini produk mewah. Tahun lalu, Dior tersandung kasus dugaan eksploitasi pekerja. Anak perusahaan Italia dari raksasa brand mewah Prancis LVMH yang membuat tas tangan merek Dior dikabarkan ditempatkan di bawah administrasi pengadilan selama setahun sejak 10 Juni 2024.

Mengutip KBIZoom, Sabtu, 22 Juni 2024, pengadilan di Milan, Italia, telah menunjuk seorang komisaris khusus untuk mengawasi divisi produksi tas tangan Dior di bawah LVMH, Manufacturers Dior SRL. Perusahaan ini akan terus beroperasi selama periode tersebut.

Langkah itu menyusul penyelidikan yang dilakukan kantor kejaksaan Milan terhadap praktik perburuhan ilegal di industri barang mewah. Penyelidikan mengungkapkan bahwa subkontraktor dari Tiongkok yang memproduksi tas untuk Dior mengharuskan beberapa karyawannya bekerja dalam shift 15 jam secara ilegal.

Kasus Serupa dari Dior

Tas Dior PO312YKY yang diproduksi selama shift ini dijual ke Dior seharga 53 euro (sekitar Rp933 ribu). Sementara, tas tersebut dijual secara eceran di toko Dior seharga 2.600 euro (sekitar Rp45,8 juta).

Jaksa telah menyelidiki praktik perburuhan ilegal di industri fesyen mewah selama 10 tahun terakhir. Investigasi tahun ini menemukan bahwa imigran ilegal di bengkel dekat Milan bekerja sepanjang malam, tinggal, dan makan di tempat kerja, dan bekerja bahkan pada hari libur. Selain itu, dipastikan bahwa mereka mengoperasikan mesin dengan perangkat keselamatan dilepas.

Mengutip TFL, penyelidikan Dior fokus pada empat pemasok Tiongkok yang mempekerjakan 32 pekerja di sekitar Milan, dua di antaranya adalah imigran ilegal sementara tujuh lainnya bekerja tanpa dokumen yang diperlukan. Staf tinggal dan bekerja dalam kondisi kebersihan dan kesehatan yang di bawah standar minimum.

Dalam putusan 34 halaman, hakim mengatakan bahwa pekerja dipaksa untuk tidur di tempat kerja agar mereka memiliki tenaga kerja yang tersedia 24 jam sehari. Pemetaan data konsumsi listrik menunjukkan siklus produksi siang-malam yang mulus, termasuk selama liburan.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |