Liputan6.com, Jakarta - Matcha yang merupakan teh hijau Jepang lebih dulu mengglobal. Teh hijau bubuk ini digunakan dalam berbagai kreasi, mulai dari oat milk latte hingga puding pisang terkenal dari Magnolia Bakery, bahkan menginspirasi kolaborasi Nike dengan skateboarder Yuto Horigome. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul pesaing baru yang mulai menarik perhatian dunia, yakni hojicha.
Teh hijau panggang ini memiliki cita rasa smoky dan nutty yang berbeda dari matcha yang berkarakter umami dan segar. Menurut catatan sejarah, hojicha ditemukan secara tidak sengaja di Kyoto pada 1920 ketika seorang pedagang teh memanggang sisa daun, batang, dan ranting untuk mengurangi limbah.
Dulunya merupakan minuman rumahan sederhana di Jepang, hojicha kini hadir dalam berbagai bentuk latte dan dessert di banyak kafe internasional. Hojicha pun mendapatkan sorotannya sendiri.
Melansir Tatler Asia, Minggu, 5 Oktober 2025, banyak yang bertanya, bagaimana teh yang dulu hanya diseduh setelah makan di rumah-rumah Jepang kini menjadi bintang baru di menu kafe modern di seluruh dunia?
Apa Itu Hojicha?
Hojicha adalah teh hijau Jepang yang berasal dari tanaman Camellia sinensis, tanaman yang sama digunakan untuk membuat matcha dan jenis teh hijau lainnya. Perbedaannya terletak pada proses pengolahannya.
Jika matcha dibuat dari daun teh muda yang ditanam di bawah naungan dan digiling menjadi bubuk halus, hojicha dihasilkan dengan memanggang daun yang lebih tua menggunakan arang pada suhu tinggi. Pemanggangan ini mengubah warna teh menjadi Merah kecokelatan dan menghasilkan rasa seperti kacang panggang, karamel, serta sedikit aroma asap.
Proses tersebut juga membuat kadar kafein hojicha jauh lebih rendah dibandingkan matcha, menjadikannya pilihan yang lebih ringan. Dalam budaya Jepang, hojicha telah lama menjadi teh sehari-hari yang disajikan setelah makan karena efeknya yang menenangkan. Sementara matcha erat kaitannya dengan upacara teh yang formal, hojicha diseruput dengan cara yang lebih sederhana.
Faktor Kesehatan dan Peluang Baru
Baik matcha maupun hojicha mengandung antioksidan, tetapi manfaatnya berbeda karena cara pengolahan dan kandungan kafeinnya. Matcha, yang dikonsumsi dalam bentuk bubuk daun utuh, mengandung antioksidan tinggi seperti katekin, L-theanine, dan kafein. Hojicha, dengan kadar kafein lebih rendah, lebih cocok diminum pada malam hari atau bagi mereka yang sensitif terhadap kafein.
Banyak yang juga menganggap rasa panggangnya lebih lembut bagi perut dibandingkan matcha. Jika matcha adalah minuman pembangkit semangat pagi, hojicha adalah teman penutup malam.
Popularitas matcha secara global didorong oleh tren kesehatan dan budaya kafe. Namun, produksinya menghadapi tantangan. Permintaan yang tinggi membuat harga matcha premium semakin mahal, sehingga banyak kafe dan konsumen beralih ke alternatif yang lebih mudah dijangkau, seperti hojicha, yang menawarkan cita rasa khas dan ketersediaan yang lebih stabil.
Hojicha yang Mendunia
Walaupun sudah lama menjadi bagian dari budaya teh Jepang, popularitas hojicha baru berkembang pesat di tingkat global. Cita rasa panggangnya yang lembut membuatnya cocok untuk latte, pastry, kue, hingga koktail.
Brand besar seperti Starbucks memasukkan menu hojicha di negara-negara seperti Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Thailand, dengan dessert berbasis hojicha semakin umum. Di Filipina, kafe seperti El Born La Patisseria menambahkan kreasi hojicha pada menu mereka.
Di Singapura, dessert modern seperti Nesuto’s Konichiwa hojicha cake dan es krim Momolato dengan rasa Kyoto hojicha dan oolong menjadi populer, sementara di Malaysia, merek Chagee menghadirkan varian musiman berbasis hojicha. Tren ini meluas hingga Australia dan Amerika Serikat.
Di Sydney dan Melbourne, Koi dessert bar karya Reynold Poernomo menyajikan kue berlapis hojicha, raspberry, strawberry, rose, dan almond bernama Kyosei. Di AS, kafe seperti Olive and James di Melrose Avenue menjadikan hojicha minuman khas musim gugur, dan The New York Times menerbitkan resep tiramisu hojicha.