12.416 Perempuan Jadi Korban Kekerasan di 2024, Menteri PPPA Fokus pada Pemulihan Korban dan Penegakan Hukum

1 week ago 27

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi melakukan kunjungan kerja ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di Sulawesi Selatan pada Sabtu, 24 Mei 2025.  Dalam kunjungan ini, Menteri PPPA menyoroti dua persoalan utama, yaitu minimnya data terpilah anak di tingkat desa dan tingginya angka perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.

Menteri PPPA Arifah Fauzi menyebut sebanyak 12.416 perempuan tercatat sebagai korban kekerasan seksual ataupun fisik sepanjang 2024. Ia mengatakan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) KPPPA ini menunjukkan bagaimana perempuan sangat rentan mengalami kekerasan, baik di lingkungan rumah tangga atau ruang publik.

"Data ini sesungguhnya belum menunjukkan angka sebenarnya karena masih menjadi fenomena gunung es. Sebab masih banyak yang belum berani melaporkan," ujarnya saat membawakan kuliah umum di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dilansir dari Antara, Sabtu.

Ia menjelaskan, berdasarkan data yang masuk di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) pada 2024 tersebut juga diketahui jika perempuan di Indonesia usia antara 15 hingga 64 tahun pernah menjadi korban kekerasan terbesar.

Angka Kekerasan pada Perempuan dan Anak

Bahkan disebutkan bahwa satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan baik secara fisik ataupun seksual. "Yang lebih parah lagi, korban anak-anak dimana satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Saat ini kita dalam kondisi darurat kekerasan," katanya.

Dalam rangka menekan semakin tingginya angka kekerasan bagi perempuan dan anak, KPPPA telah menyiapkan berbagai program besar diantaranya bernama Ruang Bersama Indonesia (RBI) yang berbasis desa. Program RBI disebut sebagai wujud nyata pendekatan pentahelix, yang menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat.

Menteri PPPA juga menyempatkan diri berdialog langsung dengan para korban kekerasan yang saat ini mendapatkan layanan dari UPTD PPA Sulawesi Selatan. Para korban terdiri dari dua perempuan dewasa dan tiga anak. Dua korban dewasa, AAK (24 tahun) dan AUM (19 tahun), merupakan korban kekerasan seksual. 

Mendorong Masyarakat Berani Laporkan Kasus Kekerasan

Sementara itu, tiga korban anak-anak meliputi PS (11 tahun), korban kekerasan seksual, serta SZ (10 tahun) dan DIP (9 tahun), korban kekerasan dalam rumah tangga berupa penganiayaan berat.

"Kami hadir untuk mendengar langsung dan memastikan bahwa para korban mendapatkan layanan pendampingan dan pemulihan yang layak. Negara harus hadir memberi perlindungan dan keadilan," tegas Menteri PPPA, dikutip dari laman resmi Kementerian PPPA, Sabtu.

Kelima korban saat ini masih memerlukan pendampingan lanjutan dari UPTD PPA, terutama untuk pemulihan psikologis dan pemenuhan hak-hak dasar mereka. Menanggapi situasi tersebut, Menteri Arifah menyatakan keprihatinan mendalam dan berkomitmen untuk terus mengawal proses penegakan hukum serta pemulihan para korban.

Selain itu, Menteri PPPA memberikan apresiasi kepada UPTD PPA Provinsi Sulawesi Selatan, UPTD PPA Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kabupaten Barru atas kerja cepat dan kolaboratif dalam penanganan kasus-kasus kekerasan. Kemen PPPA juga mendorong masyarakat untuk berani melaporkan kasus kekerasan melalui layanan pengaduan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) melalui hotline 129 atau WhatsApp di nomor 08111-129-129.

Pendataan Masih Sangat Terbatas

Dalam dialog bersama Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas P3A) Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala UPTD PPA Provinsi Sulawesi Selatan dan tenaga layanan UPTD, Menteri PPPA menerima laporan bahwa pendataan di tingkat desa masih sangat terbatas.  Anak-anak hanya dikelompokkan secara umum sebagai "anak usia 0–18 tahun", tanpa pemisahan berdasarkan kelompok usia (usia dini 0–5 tahun dan usia sekolah 6–18 tahun), jenis kelamin, maupun status disabilitas.

"Data yang tidak terpilah menyulitkan pemerintah merancang kebijakan yang responsif dan tepat sasaran. Kita butuh pembaruan sistem pendataan yang kolaboratif lintas sektor, agar perlindungan terhadap anak tidak hanya retoris," ujar Menteri PPPA.

Kepala Dinas P3A Sulawesi Selatan, Andi Marni, menjelaskan bahwa kendala utama dalam pendataan di desa adalah belum adanya instruksi teknis yang jelas dari kementerian atau lembaga pusat, lemahnya koordinasi antarlembaga, serta keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran.

Foto Pilihan

Pengunjung membaca salah satu koleksi buku di Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Sabtu (17/5/2025). (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |