Cantiknya Batik High Class Oey Soe Tjoen, Pembeli Harus Tunggu Bertahun-tahun untuk Dapatkan Pesanannya

2 months ago 39

Liputan6.com, Jakarta - Dari sekian merek batik yang beredar di pasaran, nama batik Oey Soe Tjoen mungkin tak terlalu familiar untuk banyak orang di Indonesia. Nyatanya, batik yang berasal dari Desa Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah itu sangat populer di luar negeri.

Bahkan, salah satu batik pernah dilelang di Balai Lelang Christie's di Inggris dan dihargai miliaran rupiah karena kecantikan dan kehalusannya dianggap tak mungkin tertandingi oleh produksi masa kini, meski tak terdokumentasi secara fisik maupun digital. Harumnya nama Batik Oey Soe Tjoen dijaga hingga kini masuk generasi ketiga.

Widianti Widjaja, perajin batik generasi ketiga sekaligus pemilik Oey Soe Tjoen, menerangkan engkongnya yang namanya digurat pada setiap batik yang dibuatnya tidak secara sengaja menempatkan produknya di kategori high class.

Inisiatif itu muncul berlatar pemikiran bahwa ia tak ingin bersaing dengan keluarganya sendiri. "Engkong itu berpikir kalau dia bikin batik yang sama dengan keluarga besar, dia akan bersaing dengan keluarga Oey. Makanya, dia memutuskan membuat batik yang disukai kalangan atas."

"Mereka kan tidak terpengaruh oleh ekonomi, tidak seperti ekonomi di bawah. High class itu meski kecil (pasarnya), tapi aman," tutur Widi, panggilan akrabnya, dalam jumpa pers jelang Pameran 100 Tahun Batik Oey Soe Tjoen di Jakarta, Rabu, 16 Juni 2025. 

Pertahankan Pakem Batik Oey Soe Tjoen

Widi menerangkan sebagai penerus, ia harus mempertahankan pakem yang digariskan sejak dimulainya usaha batik dikelola engkongnya pada 1925. Pakem itu yang menjadi kelebihan dari Batik Oey Soe Tjoen hingga kini.

"Kami mengerjakan semuanya menggunakan tangan, pewarnaannya dengan mencelup, bukan colek atau kuas, dan kita kerjakan bolak-balik, termasuk isen-isennya. Satu batik teorinya selesai tiga tahun," terangnya.

Faktanya, pengerjaan selembar batik sepanjang 2,6 meter bisa lebih dari itu. Salah satu pelanggannya, kata dia, bahkan ada yang harus menunggu hingga tujuh tahun hingga batik pesanannya jadi. Salah satunya dipicu oleh kondisi cuaca.

"Kalau musim kemarau kami lebih bisa mengerjakan, tapi kalau hujan lebat, kami lebih pasif karena tidak bisa mewarnai. Kalau musim rujan rada mengurangi pekerjaan. Juga kalau musim tanam dan panen, ibu-ibu yang suaminya petani tinggalkan batiknya, terjun ke sawah untuk bantu. Kalau tahu sedang panen, saya larang membatik karena pengaruh ke hasil tangan yang dikerjakan," jelasnya.

Diulang dari Awal

Selain cuaca, proses pembuatan batik yang dijalani juga panjang, terutama terkait pewarnaan. Bila dalam selembar kain terdiri dari beberapa warna, sekian kali pula ia harus menjalankan proses pewarnaan. Belum lagi warnanya jika bergradasi.

"Contohnya warna biru, tiga kali celup di tiga hari berbeda. Warna pink tiga kali celup untuk tiga hari berbeda. Jadi kalau ada empat warna, empat kali tiga kali proses," kata Widi.

Dengan panjangnya proses, hal itu juga memengaruhi kondisi kain mori yang digunakan. Seratnya bisa saja putus di tengah proses pembuatan. Ia pun harus kembali mengulang proses pembuatan dari awal. "Kain itu akhirnya baru bisa diterima tujuh tahun kemudian," katanya.

Untuk kain yang rusak, pihaknya tak akan melemparkannya ke pasaran, tetapi disimpan sebagai koleksi pribadi. Lain cerita dengan produk batik yang gagal yang diakibatkan kesalahannya. Kalau masih bisa diperbaiki, ia akan bisa menjualnya. Jika tidak, kain batik yang gagal itu tidak akan pernah dijualnya atau dibakar untuk menghindari dimanfaatkan oknum yang tak bertanggung jawab.

Daftar Tunggu yang Panjang

Dengan panjangnya proses pembuatan dan detail yang tak boleh luput selama pengerjaan, Widi mengaku maksimal hanya bisa memproduksi 20 batik per tahun. Tak heran bila daftar tunggu pembelinya mencapai ratusan nama. Sejak 2017, sudah 150 nama yang tercatat di daftar tunggu.

Panjangnya daftar itu karena ia sempat cuti dan sakit punggung yang membuatnya tak bisa berproduksi. "2015 itu sebenarnya sudah mau berhenti, tapi dirayu sama pelanggan supaya cuti saja dulu. Ternyata selama itu, pembeli selalu menuliskan namanya di daftar tunggu, enggak kerasa daftarnya sampai banyak," celoteh ibu dua anak yang terjun menjadi pembatik di usia 26 tahun.

Pada 2020, proses produksi batik pesanan kembali tersendat karena ia lebih memprioritaskan produksi batik untuk pameran 100 tahun yang akan digelar mulai 25 Juli 2025 di Taman Ismail Marzuki. "Buat juga sih tapi dikit-dikit," katanya.

Pelanggan yang memesan produknya kini tak bisa lagi membuat permintaan khusus, melainkan menyerahkan sepenuhnya desain pada Widi. Cara itu dinilai lebih efektif menyingkat durasi pembuatan yang faktanya tetap butuh bertahun-tahun. Lalu, berapa harga batik Oey Soe Tjoen itu?

"Mulai dari Rp40 (juta)," jawab Widi malu-malu seraya menyebut tak berencana membuka lagi pesanan baru.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |