Liputan6.com, Jakarta - Pusat daur ulang di Swedia dibanjiri pakaian bekas setelah larangan Uni Eropa untuk membuang limbah tekstil mulai berlaku tahun ini. Hal ini membuat pemerintah daerah kewalahan dan mendesak perusahaan fesyen agar segera bertanggung jawab.
"Banyak sekali pakaian yang masuk setiap hari. Ini gila, jumlahnya meningkat drastis," kata Brian Kelly, sekretaris jenderal toko amal Artikel2 di Stockholm, tempat penampungan pakaian bekas, dikutip dari AFP, Minggu (13/4/2025)
Sejak awal tahun ini, negara-negara anggota Uni Eropa wajib memiliki sistem daur ulang tekstil yang terpisah, selain proses daur ulang yang sudah ada untuk kaca, kertas, dan limbah makanan. Tujuannya adalah untuk mendorong pengelolaan limbah sirkular, dengan limbah tekstil disortir dan digunakan kembali, atau didaur ulang jika tidak terlalu rusak.
"Kami melihat peningkatan 60 persen dalam pengumpulan limbah tekstil pada Januari dan Februari tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu," kata Karin Sundin, ahli limbah tekstil di perusahaan pengelolaan limbah dan daur ulang Kota Stockholm, Stockholm Vatten Och Avfall.
Setelah tekstil disortir, sekitar 60 hingga 70 persen dialokasikan untuk digunakan kembali, dan 20 hingga 30 persen untuk didaur ulang menjadi bantalan, isolasi, atau bahan komposit. Sekitar tujuh hingga 10 persen dibakar untuk energi, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Swedia.
Jumlah itu merupakan peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan sebelum undang-undang baru berlaku, menurut ahli. Sebelumnya, limbah tekstil biasa dibakar secara sistematis. Namun karena kurangnya infrastruktur di Swedia, sebagian besar pakaian bekas diekspor ke luar negeri, terutama ke Lituania, tempat pakaian tersebut disortir, digunakan kembali, atau dibakar untuk energi.
Jumlah Limbah Tekstil yang Dihasilkan Warga Swedia pe Kapita
"Kami tidak memiliki pabrik penyortiran besar yang dapat memanfaatkan semuanya dengan cara yang sama seperti yang mereka miliki di Eropa timur misalnya," jelas Sundin. Alasannya adalah karena 'pekerjaan ini sangat intensif (dan) membutuhkan biaya yang sangat besar', katanya, saat tur di pusat daur ulang Ostberga di selatan Stockholm.
Warga Swedia membuang 90.000 ton limbah tekstil per tahun, atau 10 kg per orang, menurut Masyarakat Swedia untuk Konservasi Alam. Sementara, rata-rata warga Uni Eropa adalah 19 kg, menurut statistik 2022, naik dari 17 kg pada 2019, menurut data Badan Lingkungan Eropa.
Bahkan sebelum jadi limbah, industri pakaian lebih dulu mencemari lingkungan. Yvonne Augustsson, penasihat di Badan Perlindungan Lingkungan Swedia menjabarkan bahwa untuk membuat kaus seberat 135 gram, dibutuhkan 2.500 liter air dan 1 kg bahan kimia.
"Itu berarti emisi gas rumah kaca sekitar dua hingga lima kilogram," katanya. "Di Swedia, sebuah pakaian rata-rata digunakan 30 kali. Jika Anda menggandakannya menjadi 60 kali, yang tampaknya masuk akal, Anda mengurangi dampak iklim hingga setengahnya," imbuhnya.
Brand Fast Fashion Diminta Bertanggung Jawab Lebih
Penyortiran tekstil di Swedia ditangani oleh pemerintah daerah, yang banyak di antaranya kewalahan oleh jumlah yang diterima sejak diberlakukannya undang-undang baru. Di utara yang jarang penduduknya, beberapa kota, seperti Kiruna, terus membakar tekstil karena tidak ada yang mau menerima barang-barang tersebut.
Sejumlah brand fast fashion utama, seperti H&M dan Zara, diminta lebih berperan dalam menangani limbah yang mereka hasilkan. Proses negosiasi sedang berlangsung di tingkat Eropa untuk menentukan tanggung jawab mereka.
Menurut kesepakatan awal yang dicapai negara anggota Uni Eropa pada Februari 2025, raksasa pakaian itu akan bertanggung jawab atas akhir masa pakai produk yang mereka jual, wajib membayar biaya pengumpulan, penyortiran, penggunaan kembali, dan daur ulang.
Augustsson mengatakan idenya adalah untuk mendorong peritel fesyen cepat memproduksi pakaian yang dirancang agar lebih tahan lama. Ide itu pun direspons positif oleh H&M, merek fesyen Swedia.
Dilarang Beli Lebih dari 5 Pakaian Baru Setahun
Konsumen juga perlu mengubah pola pikir mereka. "Setiap orang harus membeli tidak lebih dari lima pakaian baru per tahun, kata Beatrice Rindevall, Kepala Masyarakat Swedia untuk Konservasi Alam, yang secara teratur menyelenggarakan pertukaran pakaian.
Di Kota Linkoping pada hari musim semi yang cerah, pertukaran pakaian di kampus mahasiswa menampilkan rak-rak berisi berbagai macam barang, mulai dari jaket merah muda cerah dengan lengan berbulu hingga jeans pudar, tas, dan kaus bergaris.
"Orang-orang dapat memberi kami pakaian dalam kondisi baik yang tidak lagi mereka pakai (dan) menukarnya dengan barang lain," kata relawan Eva Vollmer. "Kami fokus pada menciptakan solusi agar orang-orang benar-benar memiliki alternatif."
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Limbah tekstil nyatanya juga jadi masalah buat negeri ini yang belum terselesaikan. Mengutip kanal Regional Liputan6.com, menurut data Kementerian PPN/Bappenas, Indonesia menghasilkan sekitar 2,3 juta ton limbah tekstil setiap tahun, dengan hanya 300.000 ton yang dapat didaur ulang. Sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar, yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca.