Liputan6.com, Jakarta - Tren kunjungan wisatawan ke Antartika meningkat drastis. Semula kurang dari 8.000 wisatawan per tahun sekitar tiga dekade lalu, jumlahnya hampir menembus 125 ribu orang pada 2023--2024.
Tren tersebut diperkirakan akan berlanjut dalam jangka panjang. Apakah hal itu berarti postif atau justru negatif bagi benua di bagian paling selatan Bumi ini?
Menurut Darla Hatton MacDonald, profesor ekonomi lingkungan di Universitas Tasmania, Australia, meningkatnya kunjungan wisatawan nyatanya berbanding terbalik dengan kondisi lingkungan hidup di Antartika. Pertumbuhan pariwisata yang tak terkendali berisiko merusak lingkungan yang pada akhirnya tidak hanya berdampak buruk bagi operator dan wisatawan, tetapi juga pada benua itu dan Bumi secara keseluruhan.
Mengutip The Coversations via Japan Today, Selasa (15/7/2025), selama dua minggu terakhir, sejumlah negara menggelar pertemuan di Italia untuk memutuskan aktivitas manusia apa saja yang diizinkan di Antartika. Tapi, tidak mudah mengelola wisatawan yang berkunjung ke benua yang berada di luar kendali satu negara.
Lalu, bagaimana kita mencegah Antartika dieksploitasi habis-habisan? Sebelum menjawab itu, MacDonald menerangkan bahwa pihaknya lebih dulu memodelkan tren pengunjung Antartika di masa mendatang.
Kunjungan Manusia Ancaman bagi Antartika
Berdasarkan skenario konservatif, jumlah pengunjung dapat mencapai sekitar 285 ribu orang pada 2033--2034. Sementara lewat skenario paling tidak konservatif, jumlahnya bahkan bisa lebih tinggi lagi, mencapai 450 ribu pada periode yang sama. Angka ini mencakup permintaan terpendam karena penutupan wilayah akibat COVID yang kemungkinan akan berkurang.
Sebagian besar industri pariwisata Antartika terdiri dari pariwisata kapal pesiar di Semenanjung Antartika. Sebagian kecil pengunjung melakukan perjalanan ke wilayah Laut Ross dan sebagian pedalaman benua tersebut.
Pariwisata Antartika dikelola oleh serangkaian perjanjian internasional yang dikenal sebagai Sistem Perjanjian Antartika serta Asosiasi Internasional Operator Tur Antartika (IAATO). Sistem Perjanjian ini terkenal lamban dan terbelah oleh geopolitik, dan IAATO tidak berwenang membatasi jumlah pengunjung.
Sekitar dua pertiga wisatawan Antartika mendarat di benua tersebut. Para pengunjung dapat mengancam ekosistem yang rapuh dengan berbagai cara, termasuk memadatkan tanah, menginjak vegetasi yang rapuh, memperkenalkan mikroba dan spesies tumbuhan non-aslimengganggu koloni perkembangbiakan burung dan anjing laut.
Bahkan ketika kapal pesiar tidak berlabuh, mereka dapat menyebabkan masalah seperti polusi udara, air, dan kebisingan – serta penjangkaran yang dapat merusak dasar laut.
Bahaya dari Emisi Karbon
Bahaya juga datang dari emisi karbon. Setiap penumpang kapal pesiar ke Antartika biasanya menghasilkan antara 3,2 dan 4,1 ton karbon, belum termasuk perjalanan ke pelabuhan keberangkatan. Ini serupa dengan emisi karbon yang dihasilkan rata-rata orang dalam setahun.
Pemanasan global yang disebabkan oleh emisi karbon merusak Antartika. Di wilayah Semenanjung, gletser dan lapisan es menyusut dan es laut menyusut, memengaruhi satwa liar dan vegetasi.
Tentu saja, pariwisata Antartika hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan emisi. Namun, industri ini memiliki kewajiban moral untuk melindungi tempat yang memeliharanya, dan pariwisata di Antartika dapat memperparah kerusakan akibat perubahan iklim, yang menyebabkan ekosistem yang rapuh menurun.
Beberapa operator menggunakan kapal hibrida dan bahan bakar yang lebih sedikit polusi, serta mengimbangi emisi untuk menawarkan perjalanan yang netral karbon. IAATO berjanji untuk mengurangi emisi hingga setengahnya pada 2050 – sebuah langkah positif. Lalu, bisakah ekonomi melindungi Antartika?
Wacana Pajak Pariwisata di Antartika
Instrumen berbasis pasar – seperti pajak, skema cap-and-trade, dan sertifikasi – telah digunakan dalam pengelolaan lingkungan di seluruh dunia. Penelitian menunjukkan bahwa instrumen ini juga dapat mencegah jumlah wisatawan Antartika menjadi tidak terkendali.
Salah satu opsinya adalah mewajibkan pengunjung membayar pajak pariwisata. Ini akan membantu meningkatkan pendapatan untuk mendukung pemantauan dan penegakan hukum lingkungan di Antartika, serta mendanai penelitian.
Pajak semacam itu sudah ada di negara kecil di Asia Selatan, Bhutan, dengan setiap wisatawan membayar pajak sebesar USD100 per malam. Meskipun pajak mungkin menghalangi wisatawan yang sadar anggaran, hal itu mungkin tidak akan menghalangi wisatawan berpenghasilan tinggi yang mengutamakan pengalaman.
Alternatifnya, sistem cap-and-trade akan menciptakan sejumlah izin kunjungan Antartika yang terbatas untuk jangka waktu tertentu. Distribusi awal izin dapat dilakukan di antara operator pariwisata atau negara-negara, melalui negosiasi, lelang, atau undian. Izin yang tidak terpakai kemudian dapat dijual, sehingga menjadi sangat berharga.
Daya Dukung Antartika Belum Tersedia
Pembatasan jumlah wisatawan di Antartika, dan aturan perdagangan, harus didasarkan pada bukti tentang apa yang dapat ditangani oleh lingkungan. Namun, daya dukung Antartika yang akurat belum tersedia. Belum lagi harus ada keadilan dan inklusivitas antara operator dan negara-negara di dunia.
Sebagai alternatif, standar industri yang ada dapat ditambah dengan skema independen yang mensertifikasi praktik-praktik tertentu – misalnya, mengurangi jejak karbon. Hal ini dapat didukung oleh pemantauan dan penegakan hukum yang kuat untuk menghindari greenwashing.
"Mengingat kompleksitas tata kelola Antartika, penelitian kami menemukan bahwa solusi yang paling efektif adalah kombinasi dari opsi-opsi berbasis pasar ini, di samping langkah-langkah regulasi lainnya. Sejauh ini, para pihak dalam perjanjian Antartika hanya membuat sedikit peraturan yang mengikat," kata MacDonald.