Rekaman Sejarah Kemerdekaan Indonesia dalam Deretan Karya Lukis Henk Ngantung di Peringatan HUT ke-80 RI

2 months ago 86

Liputan6.com, Jakarta - Memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia (HUT ke-80 RI), Museum Perumusan Naskah Proklamasi menghadirkan pameran temporer berjudul 'Henk Ngantung Seni dan Diplomasi'. Pameran tersebut digelar dari Minggu, 17 Agustus 2025, hingga Jumat, 31 Oktober 2025.

Henk Ngantung merupakan seorang pelukis kenamaan yang pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta (1960–1964) dan Gubernur DKI Jakarta (1964–1965). Salah satu lukisannya, berjudul Pemanah (The Archer), merekam peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Ia juga membuat sederet sketsa yang merekam perundingan-perundingan penting bangsa, seperti Linggarjati, Renville, hingga Kaliurang. Beberapa sketsa menampilkan interaksi tokoh-tokoh bangsa secara detail. Menurut Menteri Kebudayaan Fadli Zon, lewat karyanya, Henk berkontribusi merekam jejak sejarah yang membentuk arah diplomasi Indonesia pada awal kemerdekaan.

Fadli Zon menyampaikan dalam sambutan, Sabtu, 16 Agustus 2025, "Melalui pameran ini, kami ingin masyarakat melihat bahwa karya Henk Ngantung bukan sekadar lukisan, tapi juga dokumen sejarah yang menyimpan banyak cerita bangsa. Ini kesempatan bagi generasi muda memahami sejarah lewat seni."

Merekam Suasana dan Kondisi Masyarakat Lewat Seni

Menurut Fadli, Henk Ngantung mampu menangkap ekspresi dan momen secara teliti. Karyanya tidak hanya terfokus pada tokoh, tetapi juga suasana dan kondisi masyarakat saat itu, khususnya pada era 1960an.

Setiap tampilan fotonya memperlihatkan ekspresi manusia, suasana pertemuan, sampai aktivitas sehari-hari masyarakat yang menjadikan karya-karyanya berfungsi sebagai dokumentasi yang menghidupkan sejarah. Selain untuk sejarah, karya Henk Ngantung menginspirasi generasi muda untuk memahami nilai kreativitas dalam konteks sosial.

Fadli menegaskan, "Seni Henk Ngantung memberi pelajaran bahwa karya visual bisa menginspirasi dan mengedukasi. Setiap garis dan warna mengandung cerita yang mendorong kita untuk menghargai perjuangan masa lalu dan menerapkannya dalam kehidupan saat ini."

Ia menekankan, "Melalui pameran ini, kita ingin menyoroti kemampuan Henk Ngantung merekam momen penting bangsa. Setiap karya adalah saksi sejarah yang memberi pemahaman baru tentang peran seni dalam diplomasi dan membangun hubungan internasional Indonesia."

Siapa Henk Ngantung?

Mengutip kanal News Liputan6.com, sejarah mencatat bahwa Henk Ngantung adalah Gubernur Jakarta nonmuslim pertama. Sebelum dipilih menjadi gubernur, pria keturunan Manado tersebut lebih dulu menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta pada periode 1960-1964 mendampingi Gubernur Sumarno. Henk menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sejak 27 Agustus 1964 sampai 15 Juli 1965.

Saat itu, banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung. Salah satu alasannya karena Henk seorang nonmuslim. Namun, Bung Karno punya pertimbangan lain menjadikan Henk sebagai orang nomor satu di DKI.

Bung Karno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Henk dianggap memiliki bakat artistik. Ini terlihat tatkala Presiden memanggilnya ke Istana. Dia menyarankan Presiden untuk mengurangi pohon di tepi jalan.

Henk dikenal sebagai pelukis dan budayawan tanpa pendidikan formal. Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, dia ikut mendirikan kelompok Gelanggang. Henk Ngantung juga pernah menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok 1955-1958.

Warisan untuk Generasi Muda

Pada Agustus 2012, dalam sebuah wawancara, istri Henk Ngantung Evie Mamessa mengatakan, suaminya memang bukan terlahir sebagai birokrat. Dia adalah seniman yang hobi melukis. 

Salah satu karya monumental Henk Ngantung yang masih bisa disaksikan warga Jakarta yaitu monumen Tugu Tani. Henk lah yang membuat sketsa Tugu Tani yang saat ini berada di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat.

Meski seorang nonmuslim, Evie mengatakan tidak pernah ada kasus SARA di masa kepemimpinan suaminya itu. "Pak Henk seorang Kristen diangkat sebagai gubernur. Tapi enggak ada heboh-heboh SARA. Semua tidak ada yang marah karena bukan Islam," ujar Evie.

Henk menyelesaikan masa jabatannya pada 1965. Pergolakan yang terjadi akibat tragedi 1965 membuat Henk dijatuhkan. Dia dianggap sebagai salah satu bagian dari organisasi sayap PKI, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Henk meninggal pada usia 71 tahun pada 12 Desember 1991. Dia meninggal karena sakit jantung yang berkepanjangan.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |