Liputan6.com, Jakarta - Rencana pembangunan fasilitas pariwisata oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT. KWE) di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo (TNK), Nusa Tenggara Timur (NTT) berbuah polemik. Gerakan penolakannya muncul, baik secara luring maupun daring.
Staf Riset dan Advokasi Sunspirit For Justice and Peace, sebuah lembaga advokasi berbasis penelitian di Labuan Bajo, Adriani Miming, mengatakan bahwa terkait isu tersebut, Forum Titik Temu (FTT) Masyarakat Sipil Flores telah menggelar diskusi pada Rabu, 30 Juli 2025.
"Rencana investasi itu mencuat setelah PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) menggelar konsultasi publik pada 23 Juli 2025 yang hanya dihadiri kelompok terbatas di Golo Mori, kawasan KEK di selatan Labuan Bajo. Dalam forum, pemerintah dan PT KWE mengklaim bahwa konsultasi publik merupakan bagian dari upaya merampungkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk proyek di TNK, sebagaimana disyaratkan UNESCO," kata Adriani pada Lifestyle Liputan6.com, Kamis (7/8/2025).
Sementara itu dalam keterangan pers per Selasa, 5 Agustus 2025, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyebut bahwa pengusahaan wisata alam merupakan amanah UU 5 tahun 1990 jo UU 32 tahun 2024 yang dapat dilakukan di Zona Pemanfaatan.
Rencana Pembangunan 619 Bangunan
Kemenhut menulis, "PT. KWE merupakan pemegang izin usaha sarana pariwisata alam sejak 2014 melalui SK Menteri Kehutanan No:SK.796/Menhut-II/2014, yang memiliki lokasi izin usaha sarana di zona pemanfaatan Pulau Padar. Sampai saat ini, belum ada aktivitas pembangunan sarana dan prasarana wisata alam."
Mengacu pada rencana yang ada, kata mereka, luas pembangunan tercatat sekitar 15,375 hektare atau 5,64 persen dari 274,13 hektare total perizinan berusaha di Pulau Padar. "Bukan 426 hektare sebagaimana yang diberitakan," klaim pihaknya. "Pembangunan (rencananya) dilakukan dalam lima tahap dan dibagi dalam tujuh blok lokasi."
Adriani berkata, dari dokumen yang dibedah bersama, terungkap bahwa PT KWE akan membangun 619 bangunan di atas lahan tersebut. "Ratusan bangunan itu mencakup antara lain 448 vila, 13 restoran, sebuah bar raksasa seluas 1.200 meter persegi, tujuh lounge, tujuh gym center, tujuh spa center, dan 67 kolam renang."
"Selain itu ada sebuah Hilltop Chateau (bangunan castle/istana bergaya Perancis) dan sebuah wedding chapel (gereja yang dipakai untuk acara pernikahan)," bebernya.
Hentikan Proyek di Pulau Padar
Ditanya tuntutan pihaknya, Adriani menjawab, "Taman Nasional Komodo adalah kawasan konservasi yang memiliki nilai ekologis tinggi dan diakui sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Pembangunan ratusan vila dan prasarana wisata lain oleh PT. KWE di Pulau Padar akan mengubah zona rimba jadi kawasan hunian dan bisnis padat manusia, yang secara langsung mengganggu habitat alami komodo dan mengikis nilai-nilai luar biasa dari kawasan ini."
"Karena itu, proyek PT KWE harus dihentikan karena mengancam keutuhan bentang alam dan habitat komodo. Jadi jelas sekali bahwa tanpa melalui studi akademik, akal awam pun langsung dengan mudah mendeteksi bahwa aktivitas pembangunan raksasa ini akan sangat berbahaya bagi konservasi."
"Selain itu, aktivitas perusahaan-perusahaan ini juga menunjukkan kejahatan agraria berupa perampasan ruang hidup warga lokal demi melayani hasrat investasi. Sebelum jadi taman nasional, wilayah seperti Loh Liang di Pulau Komodo yang diserahkan ke PT. KWE merupakan ruang hidup masyarakat Komodo."
"Alih-alih dikembalikan pada mereka, kawasan ini justru diserahkan pada korporasi. Warga Komodo sekarang dikondisikan untuk hidup secara berdesak-desakan di atas lahan seluas 17 hektare di Kampung Komodo, kontras dengan perusahaan yang lahannya hingga ratusan hektare."
Ancaman Monopoli Bisnis Pariwisata
Adriani melanjutkan, "Di tengah kondisi terombang-ambing tanpa status agraria yang jelas, warga Komodo kini hidup dari sektor pariwisata dengan memanfaatkan area Loh Liang dan Padar Utara sebagai lahan untuk berjualan suvenir, mengingat tingginya kunjungan wisata ke dua tempat tersebut. Namun sekarang, ruang hidup ekonomi mereka berada dalam ancaman caplokan PT. KWE."
Selain itu, PT KWE berpotensi memonopoli sektor pariwisata di kawasan ini, menurut dia. "Pembangunan 448 vila dan satu chateau berkapasitas ribuan orang bisa menguasai lebih dari setengah akomodasi wisatawan di Labuan Bajo. Hal ini mengancam keberlangsungan pelaku wisata lain, baik komunitas, UMKM, maupun usaha profesional lain yang juga sama-sama memiliki akses," ujar dia.
"Monopoli seperti ini harus dihentikan demi keadilan pariwisata di Flores. UNESCO harus bersikap tegas dan menolak pengakuan proses AMDAL yang manipulatif. Konsultasi publik yang digelar PT. KWE berlangsung secara tertutup dan hanya melibatkan undangan terbatas, bertentangan dengan prinsip partisipatif yang diminta UNESCO."
"Proyek ini berdiri di atas kajian lingkungan yang cacat secara etis dan prosedural, sehingga tidak layak dijadikan dasar pengambilan keputusan investasi di kawasan situs warisan dunia," tegasnya.
Bersurat ke UNESCO
Di sisi lain, Kemenhut berjanji, "Pemerintah Indonesia tidak akan mengizinkan pembangunan apapun sebelum dokumen EIA (AMDAL) disetujui oleh WHC (World Heritage Centre) dan IUCN (International Union for Conservation of Nature), sebagai bagian dari komitmen terhadap perlindungan Outstanding Universal Value (OUV) situs warisan dunia."
"Pemerintah akan memastikan bahwa setiap pembangunan tidak akan berdampak negatif terhadap kelestarian komodo dan habitatnya. Evaluasi terhadap OUV, baik dari aspek ekologi, lanskap, serta sosial-budaya jadi dasar utama dalam seluruh proses penilaian."
"Kemenhut menghargai perhatian publik terhadap keberlanjutan dan kelestarian satwa komodo dan Pulau Padar. Kami mengajak seluruh pihak menunggu proses penilaian internasional yang tengah berjalan, serta menghindari penyebaran informasi yang tidak akurat dan berpotensi menyesatkan publik," tandasnya.
Sementara itu, Adriani mengatakan, pihaknya akan menyusun pernyataan sikap kolektif dan laporan resmi, seperti bersurat ke UNESCO sebagai upaya intervensi internasional. "Kami juga akan menginisiasi petisi dan aksi kolektif, baik daring maupun luring, bersama masyarakat lokal dan simpul-simpul gerakan masyarakat sipil di tingkat nasional."
Di samping, mereka pun akan memperkuat gerakan solidaritas antarwilayah yang terdampak "perampasan ruang hidup akibat proyek konservasi-korporatis ini," tutupnya.