Liputan6.com, Jakarta - Kegiatan study tour masih jadi polemik karena ada larangan dari beberapa pemerintah daerah, tapi ada juga yang tidak setuju dengan pelarangan tersebut. Terkait polemik tersebut, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) angkat bicara.
Wakil Menteri Pariwisata (Wamenpar), Ni Luh Puspa, menegaskan bahwa fokus utama pemerintah bukan pada larangan, tapi upaya menciptakan pedoman yang menjamin keselamatan dan kebermanfaatan wisata edukasi.
"Kita ingin solusi jangka panjang, bukan sekadar memadamkan polemik sesaat," kata Wamenpar saat Diskusi Ngobrolin Pariwisata dan Ekonomi Kreatif alias Ngoprek edisi perdana di kantor Kementerian Pariwisata di Jakarta, Rabu, 14 Mei 2025.
Tema besar diskusi yang digelar Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Pariwisatta (Forwaparekraf) itu adalah "Dilarang atau Diatur? Mencari Titik Temu Antara Study Tour dan Masa Depan Pariwisata."
Menurut Ni Luh, Kemenpar sedang menyusun pedoman wisata edukasi yang berfokus pada keamanan siswa, kesiapan destinasi, dan nilai pembelajaran. "Wisata edukasi perlu dirancang dengan hati-hati, tapi jangan sampai anak-anak kehilangan kesempatan belajar langsung dari lingkungan," katanya.
Potensi Wisata Edukasi
"Rencananya pedoman ini sudah bisa selesai bulan September nanti. Harapannya, pedoman ini bisa sesuai dengan arahan Bu Menteri, yaitu bagaimana langkah-langkah yang kita ambil bukan hanya untuk memadamkan api, tapi mencegah apinya muncul lagi di kemudian hari," sebut Wamenpar.
Para peserta diskusi sepakat bahwa kolaborasi antar sektor—pemerintah, sektor pariwisata, dan dunia pendidikan—adalah kunci mengatasi tantangan dan memanfaatkan potensi wisata edukasi secara maksimal.
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenpar, Rizki Handayani, mengakui, selama ini, belum ada pedoman nasional yang secara khusus mengatur penyelenggaraan wisata edukatif. Ia menyambut baik perhatian berbagai Pemerintah Daerah (Pemda) yang mendorong penataan ulang pelaksanaan study tour.
"Ini bisa jadi blessing in disguise. Diskusi seperti ini penting agar kita tidak terjebak pada pelarangan, tapi membahas model penyelenggaraan yang bertanggung jawab," ujarnya.
Beda Antara Study dan Tour
Sementara itu, Kasubag Umum dan Kepegawaian Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Herdi Herdiansyah, menyampaikan bahwa Dinas Pendidikan Provinsi Banten menerima banyak aduan terkait study tour, terutama dari sisi beban biaya dan keamanan. "Karena itu kami tidak melarang, tapi mengimbau kegiatan dilakukan di dalam provinsi. Banyak destinasi lokal yang cocok untuk tujuan edukasi," terang Herdi.
Dari sisi pendidik, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim menyoroti pentingnya membedakan antara "study" dan "tour." Ia menyatakan, pelarangan total justru bisa menghilangkan potensi pembelajaran yang kontekstual.
"Yang harus dihindari adalah tour tanpa study. Kita butuh standardisasi, dari proporsi pembimbing, keamanan, sampai substansi edukasinya," katanya.
Hal senada disampaikan Direktur Utama TMII, Intan Ayu Kartika. Ia melihat perlunya regulasi dan standar nasional untuk memastikan study tour berjalan aman dan bermakna.
"Anak-anak perlu ruang belajar di luar kelas untuk membentuk karakter. Tapi tentu harus ada aturan yang mengatur jumlah pendamping, kurasi materi, serta transportasi," jelasnya.
Pentingnya Memperkenalkan Kebudayaan dan Keragaman
Selama ini, TMII jadi salah satu destinasi utama wisata edukatif di Indonesia. Intan menegaskan pentingnya memperkenalkan kebudayaan dan keragaman sejak usia dini.
"Tak perlu jauh-jauh, TMII menawarkan pengalaman belajar budaya Indonesia yang kaya dalam satu kawasan saja. Di sini, anak-anak bisa mengenal akar keindonesiaan mereka," tuturnya.
Dari pelaku industri, Donny D dari Adonta Education menyampaikan perlunya pemisahan antara biro perjalanan umum dengan agen khusus edutrip. "Travel agent biasa akan mengoptimalkan waktu untuk kunjungan, sementara edutrip butuh pendekatan berbeda—dari aspek keamanan, compliance, sampai nilai akademik. Negara seperti Australia dan Jepang sudah punya sistem ini," jelasnya.
Sementara tokoh desa wisata dari Nglanggeran, Sugeng Handoko, menyoroti dampak positif study tour terhadap pembentukan karakter siswa. Ia mencontohkan pengalaman siswa yang belajar langsung dari alam dan masyarakat lokal.
"Ada anak yang berubah jadi lebih menghargai makanan setelah melihat sendiri bagaimana menanam dan memasak di desa. Ini nilai yang tidak bisa didapat dari buku pelajaran," ujarnya.