Mengenal Kunto Bimo, Salah Satu Mitos di Candi Borobudur

1 day ago 17

Liputan6.com, Jakarta - Mitos Kunto Bimo tengah ramai dibahas warganet karena kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Ibu Negara Prancis Brigitte Macron ke Candi Borodudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis, 29 Mei 2025. Apa itu?

Melansir unggahan Instagram Konservasi Borobudur, 8 Desember 2022, dijelaskan bahwa "Kunto Bimo adalah mitos yang mengatakan, siapa saja yang merogoh ke dalam sebuah stupa berongga di Candi Borobudur dan dapat menyentuh bagian tertentu dari tubuh arca Buddha di dalamnya, ia akan mendapatkan keberuntungan atau terkabul keinginannya."

"Mitos ini sekarang jadi masalah pelestarian Candi Borobudur," bunyi keterangan video tersebut. "Stupa teras dengen lubang berbentuk belah ketupat ini merupakan objek pemujaan atau simbol religius umat Buddha. Pantaskah kita menaikkan kaki ke simbol religius ini? Tentu tidak."

"Kembali pada toleransi umat beragama yang merupakan kepribadian kita," sebut klip yang dimaksud. Pihaknya juga menjelaskan kondisi stupa di Candi Borobudur tersebut.

Larangan Memegang dan Menaiki Stupa

Stupa Teras Candi Borobudur, kata pihak Konservasi Borobudur, sudah dibangun sejak abad VIII Masehi, atau 1.200 tahun lalu. "Bagian dari stupa yang namanya Padmasana ini mempunyai relief pahatan berupa bunga teratai. Bila kita menaikan kaki, satu-orang dua orang, tidak apa-apa, tapi kalau jutaan orang menaikan kaki dan ingin meraih Kunto Bimo, yang terjadi adalah keausan pada permukaan bagian Padmasana Stupa Teras."

Sejak 2016, Balai Konservasi Borobudur telah melarang pengunjung memegang dan menaiki stupa-stupa di candi Buddha terbesar di dunia tersebut. Larangan ini bertujuan mencegah kerusakan pada struktur candi yang bersejarah dan sakral. 

Larangan ini juga jadi pengingat bagi para pengunjung untuk lebih menghargai nilai sejarah, budaya, dan keagamaan Candi Borobudur. Terlebih, mitos Kunto Bimo tidak memiliki dasar dalam ajaran Buddha.

Secara etimologis, "Kunto Bimo" diperkirakan berasal dari kata "Kunta Bhima." "Kunta" dapat berarti "batang," "lembing," atau "gairah/keinginan," sementara "Bhima" merujuk pada tokoh Pandawa yang dikenal karena kekuatan dan kehebatannya.

Stairlift Menuju Puncak Candi Borobudur

Sementara itu, pemasangan stairlift atau penganjung tangga di Candi Borobudur bersamaan dengan kunjungan Macron telah mendapat beragam reaksi. Banyak yang mendukung, tapi tidak sedikit juga yang tdak sependapat dengan berbagai alasan, seperti ditinjau dari segi manfaat maupun upaya pelestarian.

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyebut, stairlift di Candi Borobudur rencananya akan dibangun permanen. "Kita harapkan (permanen), nanti ini uji coba dulu ya (stairlift di Candi Borobudur)," kata Menbud di Candi Borobudur, Kamis, 29 Mei 2025, dilansir dari kanal News Liputan6.com.

Stairlift, menurut dia, tidak merusak Candi Borobudur sebagai cagar budaya. Menbud mengaku memastikan, tidak ada baut yang terpasang dalam pemasangan stairlift. "Portable, tidak merusak tidak ada satu mur maupun baut yang merusak batu," ucapnya.

Di sisi lain, penolakan salah satunya datang dari Forum Aktivis Buddhis Dharmapala Nusantara. Dalam pernyataan sikap resminya di Jakarta, organisasi ini menekankan, Candi Borobudur bukan tempat untuk uji coba teknologi yang berisiko merusak kesakralan dan keutuhan candi.

Pendapat Berbagai Pihak

Penolakan juga datang dari aktor sekaligus budayawan Butet Kartaredjasa. Menurut pria asal Yogyakarta ini, penambahan fasilitas, seperti stairlift, di situs budaya seperti Candi Borobudur kurang tepat. "Nanti bisa saja ada yang rusak atau rubuh walau katanya tidak pakai baut atau ditanam," kata dia pada Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 30 Mei 2025.

"Ini kan juga tempat ibadah umat Buddha, dan selama ini memang pengunjung dibatasi di tempat-tempat tertentu karena ini tempat ibadah. Itu harus kita hormati," tuturnya.

Terpisah, antropolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Feby Triady, menyebut bahwa stairflift di Borobudur seharusnya tidak boleh terjadi karena bisa merusak estetika dan niiai peribadatan dari candi tersebut.

"Namun kalau diperuntukkan khusus untuk disabilitas dan lansia sebenarnya sah-sah saja, jadi sebaiknya dikaji dan dipertimbangkan lagi apa yang terbaik," terangnya pada Lifestyle Liputan6.com, Jumat.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |