Liputan6.com, Jakarta - Tantangan industri fesyen lokal saat ini jadi salah satu pertanyaan yang terlontar dalam sesi JF3 Talk 2025 volume satu. Di event pertamanya tahun ini, forum tersebut mengangkat tema "Recrafted a New Vision: Redefining Indonesia's Competitive Edge in the Global Market."
Astrela dari brand Bespoke mengatakan bahwa tantangan terbesar di sektor mode sekarang berasal dari perubahan tren fesyen yang sangat cepat. "Industri dituntut memahami keinginan pasar sambil tetap mempertahankan DNA brand. Forecast tren jadi penting agar bisa menggabungkan nilai brand dengan keinginan pasar," katanya dalam rilis pada Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 8 Mei 2025.
Sementara itu bagi jenama Matahari dari Timur, yang membawa kain langsung dari Sumba, para perajin yang tidak mengenal tren digarisbawahi sebagai tantangan tersendiri. Belum lagi bicara tentang kebutuhan ekonomi mendesak yang membuat perajin kadang beralih ke bahan non-natural, bahkan berhenti menenun, karena tidak laku.
Arif dari jenama Mr.A Menyoroti pentingnya "recrafted" dan sustainability sebagai masa depan desain. "Fokus sebaiknya bukan pada yang sudah ada, tapi pada potensi yang belum tereksplorasi," sebut dia. "Saat tampil di Thailand, banyak motif tenun atau batik Indonesia terlihat mirip (dengan wastra setempat). Penting untuk menciptakan motif baru yang benar-benar khas Indonesia."
Terkait sustainability, produk upcycle dinilai sulit meyakinkan konsumen untuk membeli barang berbahan bekas, sebut Elok dari Dola’ap Kebaya. Ia juga mengatakan bahwa konsumen sekarang cenderung price-sensitive, sehingga sulit menjual produk keberlanjutan dengan harga premium.
Keterbatasan SDM dan Bahan Baku
Menyambung itu, Afif dari ControlNew mengatakan bahwa keterbatasan SDM dan bahan baku, karena tidak semua jenis kain dapat diolah jadi produksi upcycle jadi catatan terbesar mereka. Fokus utama brand yang sudah berdiri sejak 2018 itu tidak hanya pada upcycling denim.
Mereka menciptakan artikel baru yang memiliki nilai tambah dan dapat dijual dengan harga lebih tinggi. "Dalam proses desain, ada dilema antara menciptakan desain simpel, yang notabene lebih mudah diproduksi dari kain sisa, dengan kebutuhan pasar akan desain yang unik dan menarik," ujarnya.
Anak muda saat ini, kata dia, mulai peduli pada desain dan harga. Namun, mereka belum sepenuhnya sadar atau memperhatikan nilai di balik produk, termasuk proses upcycle.
"Maka itu, pendekatan branding yang kami lakukan adalah menarik perhatian pasar melalui desain dan harga terlebih dahulu, lalu edukasi soal nilai dan proses upcycle. Menjaga margin pun jadi tantangan besar agar brand tetap berkelanjutan di tengah kondisi ekonomi saat ini," ungkapnya.
Kurang Eksposur
Tidak ketinggalan, ada Ayu Gani dari Batik Sulawesi yang bercerita bahwa jenamanya sudah eksis selama 15 tahun di tengah pasar batik khas Sulawesi Selatan (Sulsel) yang masih tergolong kecil. "Hal ini disebabkan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan bahan baku," ia mengatakan.
"Sulsel memiliki kekayaan motif, seperti aksara Lontara, namun belum berhasil dikenal secara nasional. Hingga saat ini, belum ada produsen batik yang secara konsisten mengangkat motif khas tersebut. Pasar lokal di Sulsel lebih didominasi peminat tenun, sementara kami ingin memperkenalkan batik sebagai bagian dari identitas budaya Sulsel."
"Saat ini, penjualan masih terbatas melalui e-commerce dan WhatsApp. Belum ada penetrasi signifikan ke pasar nasional karena terbatasnya eksposur," bebernya.
Tantangan lainnya adalah minimnya pengolahan limbah dan kesiapan SDM mendukung produksi dalam skala besar. Ayu menekankan pentingnya dukungan dan sorotan lebih besar terhadap deretan brand dari luar Jawa agar bisa bersaing dan dikenal luas.
Seputar JF3 Talk
Pendiri LAKON Indonesia, sekaligus advisor untuk Jakarta Fashion & Food Festival (JF3), Thresia Mareta, menutup diskusi dengan menegaskan komitmen JF3 untuk terus berkembang dan terhubung secara internasional. Ia menekankan pentingnya konsistensi dan kolaborasi dalam membangun industri fesyen Indonesia yang kuat dan berdaya saing global.
JF3 berharap seluruh pelaku industri dapat berperan aktif secara bersama-sama dalam membangun ekosistem fesyen Indonesia dengan semangat kolaborasi dan kualitas yang lebih matang. Ke depan, pihaknya mengaku akan semakin fokus untuk menjalin hubungan internasional demi mendukung kemajuan industri fesyen lokal.
Tahun ini, JF3 mengundang salah satu desainer dari Korea Selatan sebagai bagian dari kolaborasi dua arah. Jadi, tidak hanya mereka yang datang ke Indonesia, tapi partisipan festival yang sudah terselenggara sejak 2004 itu juga akan bertandang ke Negeri Ginseng. Setelah forum ini, JF3 Talk Vol.2 akan dihadiri pemerintah, disusul JF3 Talk Vol.3 yang bakal menggelar journalist workshop.