Kreasi Wastra Nusantara, Antara Estetika dan Nilai Budaya

2 months ago 83

Liputan6.com, Jakarta - Kompetisi Tata Wastra jadi salah satu agenda Parade Wastra Nusantara 2025 yang bertujuan mendorong pelestarian dan inovasi kain tradisional Indonesia. Bertema "Keanggunan Warisan Budaya dalam Balutan Keseharian," kompetisi ini mengajak para desainer muda merancang busana berbasis wastra yang modern dan fungsional, namun tetap sarat makna budaya.

Desainer, sekaligus juri Tata Wastra, Deden Siswanto, menekankan pentingnya melihat karya secara menyeluruh, tidak hanya dari aspek visual. Penilaian juga fokus pada kepedulian para peserta terhadap kain yang mereka olah.

"Jadi, kain tidak hanya dipotong untuk dijadikan pakaian. Tahun ini, para peserta membuat busana ready to wear, tidak untuk kostum," ungkapnya saat talkshow Cerita Wastra di Parade Wastra Nusantara, Kota Kasablanka, Jakarta, Jumat, 8  Agustus 2025, melansir FIMELA.

Menurut Deden, perkembangan fesyen berbasis wastra saat ini menunjukkan progres signifikan. Dalam proses penjurian, desainer Indonesia itu mengaku membedakan antara desain yang hanya cantik dengan yang benar-benar memiliki nilai budaya. 

Mendalami Nilai Wastra

Deden berbagi, "Melihat generasi muda saat ini semua (serba) instan, para peserta harus mendalami nilai wastra tersebut karena kain setiap daerah memiliki filosofi. Paham dengan kain yang dikenakan, seperti ada bahan yang tidak bisa dipecah atau dipotong. Jadi ready to wear dari wastra bisa tetap dipakai dan memiliki nilai."

Ia percaya, kompetisi seperti Tata Wastra memiliki kontribusi besar dalam pelestarian budaya, sekaligus membuka ruang bagi inovasi baru. Namun, penyelenggaraannya tetap butuh support system, seperti kerja sama dengan pemerintah. "Batik jadi favorit, kini setiap provinsi memiliki wastra. Jadi sekarang, nggak pakai wastra justru nggak keren. Maka, wastra kini menjadi andalan," ujarnya. 

Namun, tantangan tetap ada. Deden menyampaikan, penyesuaian harga harus dilakukan saat menjual koleksi ready to wear berbahan baku wastra. Sebab, para desainer juga mengambil bahan baku dari perajin.  "Jadi, bahan baku dari perajin yang kita olah bisa mudah dibeli orang," sebut dia.

Untuk pakaian modest, Deden juga mengatakan harus sesuai kaidah. Ini pun jadi salah satu tantangan tersendiri.

Menjadikannya Relevan

Dari sisi penyelenggara, Deputy Editor in Chief FIMELA, Adinda Tri Wardhani, menjelaskan bahwa motivasi utama di balik Tata Wastra adalah dorongan melestarikan budaya lokal dan menjadikannya bagian dari fesyen yang relevan bagi generasi muda. 

"Kami ingin mendorong pelestarian budaya lokal, khususnya wastra, seperti batik, tenun, songket, dan lain-lain. Melalui kompetisi ini, wastra Nusantara tidak hanya dilestarikan, tapi juga dikenalkan kembali ke generasi muda dalam format yang modern dan relevan," katanya di kesempatan yang sama. 

Adinda juga menyampaikan, kompetisi seperti Tata Wastra membuka ruang bagi desainer muda dan UMKM fesyen lokal untuk unjuk gigi dan memperluas jaringan. Pihaknya pun mendorong lahirnya talenta baru yang bisa menggabungkan unsur budaya dengan tren fesyen global.

"Sebagai media digital, Fimela memanfaatkan inisiatif ini untuk meningkatkan interaksi dengan audiens yang memiliki minat pada fesyen dan budaya," tutur Adinda.

Bergerak ke Arah Modern

Adinda juga mengamati bahwa tren mode berbasis wastra kini bergerak ke arah yang lebih modern. Misalnya, tenun yang dipadukan dengan denim maupun batik dengan siluet oversized ala streetwear Korea. "Tren ini menjadikan wastra lebih fungsional tanpa kehilangan identitasnya," sebut dia.

Di Tata Wastra tahun ini, para finalis menunjukkan keberagaman pendekatan yang menarik. "Dalam prosesnya, kami dapat melihat masing-masing finalis yang terpilih ini memiliki ciri khas desain dan target market yang berbeda-beda, sehingga masing-masing dari mereka memiliki peluang yang sama besarnya untuk terjun ke industri fesyen," katanya. 

Adinda mengatakanm, Fimela menaruh harapan besar agar wastra Indonesia tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang jadul atau hanya untuk orang tua. Melalui Tata Wastra, kain-kain tradisional ini diharapkan bisa menembus batas usia, kelas sosial, bahkan negara. 

"Kami ingin melihat desainer Indonesia membawa wastra ke Paris, Milan, dan Tokyo Fashion Week. Tidak hanya cantik secara visual, tapi juga membawa filosofi dan kisah Nusantara ke panggung dunia," tandasnya.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |