Ironi Pendanaan Iklim: Dana Global Tersendat Birokrasi, Masyarakat Adat Gigit Jari

1 week ago 70

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah hiruk-pikuk perundingan tingkat tinggi pada Konferensi Iklim (COP 30) yang berlangsung di Brasil, sebuah kenyataan pahit terungkap mengenai nasib pendanaan iklim dunia. Penelitian terbaru International Institute for Environment and Development (IIED) menyingkap tabir bahwa aliran dana yang seharusnya menyelamatkan bumi justru tidak sampai kepada mereka yang berada di garda terdepan pelestarian alam, termasuk masyarakat adat.

Wacana besar mengenai penyelamatan bumi sering kali terdengar megah di panggung internasional, namun realitasnya sangat berbeda ketika ditilik hingga ke tingkat tapak. Berdasarkan data yang dihimpun dalam rentang waktu 2003 hingga 2016, total dana yang telah disetujui untuk proyek-proyek iklim mencapai angka fantastis, yakni USD 17,4 miliar atau sekitar Rp 291,33 triliun.

Ironisnya, penelitian IIED menemukan bahwa dari jumlah raksasa tersebut, hanya sekitar USD 1,5 miliar atau setara dengan Rp 25,11 triliun yang benar-benar diarahkan untuk aktivitas di tingkat lokal. Ini berarti kurang dari 10 persen dana iklim global yang menyentuh langsung masyarakat di kampung-kampung. Hambatan utama dari kemacetan aliran dana ini bukanlah ketiadaan uang, melainkan tembok tebal bernama birokrasi. 

Masyarakat adat dan komunitas lokal sejatinya adalah benteng terakhir pertahanan bumi. Merekalah yang selama ini menjaga hutan, merawat pesisir, dan memastikan ekosistem tetap seimbang. Namun, kelompok inilah yang paling terdampak krisis iklim sekaligus paling sulit mengakses bantuan. 

CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, dalam Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet menyoroti pentingnya mengubah pendekatan pendanaan yang kaku menjadi berbasis kepercayaan. Menurutnya, mempermudah akses bukan berarti mengabaikan akuntabilitas, melainkan memberikan pendampingan yang tepat sasaran agar masyarakat mampu mengelola dana tersebut secara mandiri.

Beri Kepercayaan pada Masyarakat Adat

"Kami mempercayakan pengelolaan dana kepada Masyarakat Adat dan membantu prosesnya, mulai dari penulisan proposal sampai menjaga bukti pembayaran untuk akuntabilitas dan lain sebagainya. Jadi bukan mempersulit, tapi mempermudah," ujar Bustar pada 18 November 2025, dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 20 November 2025.

Bustar mengangkat Raja Ampat, Papua, sebagai contoh. Masyarakat adat di sana mengelola homestay sebagai tumpuan hidup sekaligus insentif untuk menjaga terumbu karang dan hutan. Namun, pandemi Covid-19 menghancurkan usaha mereka, dan ketika ingin bangkit, mereka terbentur ketiadaan modal. 

Skema yang mereka butuhkan bukanlah sedekah cuma-cuma. Masyarakat memiliki etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi; mereka bersedia mengembalikan dana tersebut jika usaha mereka kembali berjalan. Mereka hanya butuh akses yang adil untuk memulihkan ekonomi yang menopang biaya hidup dan sekolah anak-anak mereka, sekaligus membiayai upaya konservasi mandiri yang mereka lakukan.

"Padahal kalau mendapat pendanaan dan bisnisnya berjalan kembali, masyarakat mau mengembalikan dana tersebut. Jadi bukan minta. Dan merekalah yang selama ini menjaga terumbu karang, menjaga hutan di sana," tambah Bustar.

Birokrasi Berbelit Menghambat Hak Masyarakat Adat

Persoalan birokrasi bukan hanya sekadar masalah administrasi, melainkan bisa menjadi pemicu hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap komitmen iklim. Tanti Budi Suryani, Program Manager Dana Nusantara, membagikan pengalaman pahit yang dialami oleh sebuah komunitas di Kalimantan Timur yang pernah diiming-imingi pendanaan karbon Rp40 juta sebagai imbalan atas upaya mereka melestarikan hutan di wilayah adat.

Masyarakat telah memenuhi kewajiban mereka, menjaga hutan dan menjalankan program pelestarian selama lima tahun penuh dengan harapan besar. Namun, janji tinggal janji. Hingga kini, dana tersebut tidak pernah cair. "Persoalannya adalah birokrasi yang panjang," ungkap Tanti.

Di sisi lain, inisiatif seperti Dana Nusantara hadir sebagai antitesis dari kerumitan tersebut. Didirikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), lembaga ini menerapkan sistem hibah berbasis kepercayaan dan telah mendukung 450 inisiatif masyarakat. 

Dukungan ini krusial, terutama mengingat target Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk mempercepat pengakuan hutan adat seluas 1,4 juta hektare hingga 2029. "Cara aksesnya mudah, dilandasi saling percaya, dan bentuknya hibah," ujar Tanti mengenai metode Dana Nusantara.

Krisis Iklim Jadi Ladang Bisnis Negara Maju

Di panggung COP 30, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menuntut komitmen negara maju. Namun, realitas ekonomi politik di balik pendanaan iklim menunjukkan wajah yang berbeda. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), mengkritik keras bahwa pendanaan iklim saat ini telah melenceng dari semangat Kesepakatan Paris.

Alih-alih membayar "utang ekologis" berupa hibah atas kerusakan yang mereka timbulkan sejak revolusi industri, negara-negara maju justru menyalurkan dana dalam bentuk pinjaman. Ini membuat negara berkembang yang sudah terbebani masalah kemiskinan dan pendidikan, kini harus menanggung beban utang baru atas nama iklim. 

"Dalam kesepakatan Paris, disebutkan bahwa negara maju juga memiliki mandat untuk membantu negara berkembang. Jadi bukan hanya memberikan akses, tapi bahkan pendanaannya," kata Bhima.

Praktik Licik Negara Maju

Lebih parah lagi, isu perubahan iklim terindikasi dimanfaatkan sebagai peluang bisnis. Investigasi Reuters yang dikutip Bhima menunjukkan negara maju membeli surat utang negara berkembang dengan imbal hasil tinggi (6--10 persen) atau memberikan hibah dengan syarat yang mengikat, seperti kewajiban menggunakan teknologi dan konsultan dari negara donor. 

Hal ini membuat dana tersebut kembali mengalir ke negara maju, sementara negara berkembang tetap menanggung risiko kerusakan lingkungan. Menurut Bhima, prinsip keadilan harus ditegakkan: negara perusak harus membayar reparasi, bukan memberikan pinjaman. Jika tidak, mereka layak dibawa ke mahkamah internasional sesuai pandangan International Court of Justice.

“Sebenarnya ada yang menikmati krisis iklim. Krisis iklimnya makin parah, profitnya makin tinggi,” pungkas Bhima.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |