Transformasi TWA Angke Kapuk, dari Lahan Rusak Jadi Hutan Mangrove Penjaga Utara Jakarta

2 weeks ago 33

Liputan6.com, Jakarta - Dijuluki sebagai Miracle of Mangrove Reserve, Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk di Jakarta merupakan saksi bisu upaya keras pemulihan ekosistem yang sempat hancur. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada 1967, area ini adalah hutan mangrove yang rimbun, namun rusak parah akibat aktivitas manusia.

"Kondisi terparah terjadi pada tahun 1995, di mana hanya tersisa sekitar 10 persen dari pohon mangrove," ucap Ratih Maduretno, Manajer Operasional TWA Angke Kapuk ditemui di Jakarta, Kamis, 13 November 2025.

Area yang terdegradasi ini sempat dimanfaatkan untuk membudidayakan ikan secara ilegal. Setelah mendapatkan izin pada 1997, pengelola membersihkan area dari aktivitas ilegal tersebut yang membutuhkan waktu sekitar delapan tahun. 

"Program restorasi mangrove secara efektif baru dimulai pada tahun 2005. Berkat upaya pemulihan yang gigih, pada tahun 2021, tutupan mangrove di kawasan ini telah mencapai sekitar 50 persen," tutur Ratih.

Keberhasilan restorasi ini berdampak langsung pada peningkatan kualitas habitat satwa liar dan keanekaragaman hayati. Saat ini, kawasan tersebut mmenjadi habitat 286 spesies tanaman, 34 spesies mamalia, 75 spesies burung, dan sembilan spesies reptil. Beberapa spesies elang pun menjadikan TWA Angke Kapuk sebagai rumah mereka. 

Upaya konservasi ini menegaskan bahwa bahkan di tengah kepungan ruang perkotaan yang padat, pemulihan alam tetap bisa dilakukan. Hal itu terwujud berkat kolaborasi dengan beragam pihak, termasuk dari Uni Eropa (UE) yang meluncurkan Green Diplomacy Week, sebuah inisiatif global yang berwujud penanaman mangrove. 

Melawan Tiga Krisis Planet

Kegiatan yang diselenggarakan di TWA Angke Kapuk bekerja sama dengan Langit Biru ini melibatkan penanaman bibit mangrove (sekitar 200 bibit). Acara tersebut juga memiliki sisi edukasi yang kuat, melibatkan kelompok yang beragam, termasuk alumni Erasmus, siswa dari Francis School, dan berbagai perwakilan kedutaan dan misi. 

Kegiatan itu dirancang untuk mencerminkan komitmen EU dalam mengatasi tiga serangkai krisis yang mengancam planet, atau "triple planetary crisis": perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.

Keterlibatan Uni Eropa dalam program konservasi di Asia Tenggara merupakan manifestasi dari kemitraan strategis antara ASEAN dan EU. Hubungan ini mencapai tonggak sejarah penting dengan terselenggaranya Dialog Menteri pertama tentang iklim dan lingkungan antara ASEAN dan EU di Langkawi yang membutuhkan waktu tiga tahun untuk diwujudkan.

Uni Eropa tidak hanya berdiskusi, tetapi juga menerjemahkan komitmennya menjadi aksi nyata. EU telah menginvestasikan total 30 juta euro (terbagi dalam dua proyek masing-masing senilai 15 juta euro) untuk konservasi keanekaragaman hayati di ASEAN. 

Investasi ini dilakukan melalui kemitraan dengan ASEAN Center for Biodiversity (ACB) dan operator Jerman, KFW. Selain itu, EU juga mendukung penuh Paviliun ASEAN di COP30 di Brazil.

Indonesia Pemegang Kunci Mangrove Global

Indonesia berperan sangat penting dalam ekosistem global karena memiliki area mangrove terluas di dunia, yang mencakup sekitar 23 persen dari total mangrove global. Selain luas, Indonesia juga menjadi rumah bagi spesies mangrove terbanyak. Ekosistem vital ini disebut sebagai "magic" karena fungsinya yang krusial.

Mangrove berperan ekologis yang sangat besar: melindungi garis pantai, mendukung perikanan dan akuakultur, serta berperan penting dalam memitigasi perubahan iklim karena berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) yang vital. Namun, keberadaannya terancam oleh deforestasi dan berbagai aktivitas manusia lainnya, khususnya alih fungsi lahan.

Polusi, khususnya polusi plastik yang mencemari perairan, juga merupakan ancaman serius terhadap kesehatan mangrove. Wijaya Surya, CEO Langit Biru, menyatakan, "Tantangannya harus ada balance ya antara nilai ekonomi sama untuk menjaga lingkungan. Kadang-kadang yang mana dulu nih".

Ia menekankan pentingnya menemukan keseimbangan antara peluang ekonomi dan upaya pelestarian lingkungan. Co-founder Langit Biru Tiza Mafira berharap kegiatan penanaman mangrove tersebut bisa direplikasi di seluruh Indonesia untuk melestarikan pesisir dan membantu edukasi tentang peran vital mangrove. 

Perdagangan Karbon dan Tantangan Transisi Energi

Indonesia berambisi untuk menjadi carbon sink global dan menjual kredit karbon sebagai sarana untuk mendapatkan pendanaan guna konservasi alam. Ambisi ini didukung oleh revisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang diperkirakan akan diperkenalkan pada COP30.

"Agar penjualan karbon laku, Indonesia harus dianggap kredibel. Kredibilitas ini memerlukan upaya nyata dalam menjaga hutan dan melakukan transisi energi," ujar Tiza. "Karbon itu akan laku kalau memang dilihat sebagai kredibel, penanda kredibel bahwa negara itu mengurangi emisi".

Kredibilitas juga bergantung pada pemenuhan target yang ditetapkan. "Kalau itu tidak tercapai, ya kan kalau misalnya kita menjual karbon ke luar negeri, kan pasti pertanyaannya adalah berdasarkan apa nih jualan karbon? Targetnya aja enggak terpenuhi," sambungnya.

Pemerintah didesak untuk menegaskan kembali komitmen pengurangan deforestasi, mengingat adanya data yang bertentangan mengenai laju deforestasi belakangan ini. Di sektor energi, Indonesia juga perlu mengejar ketertinggalan. Brasil, tuan rumah COP 30, telah menghasilkan 80 persen energinya dari Energi Baru Terbarukan (EBT), sementara Indonesia baru mencapai 13 persen pada 2024.

Tiza mendorong pemerintah menerapkan teknologi nol emisi, seperti tenaga surya dan angin. Hal itu penting agar target nol emisi terpenuhi tanpa mengorbankan keanekaragaman hayati.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |