Ratu Camilla Bergaun Hitam Saat Temui Paus Leo XIV di Vatikan, Bros Senilai Rp 881 Juta Disorot

Liputan6.com, Jakarta - Raja Charles III dan Ratu Camilla kembali mengunjungi Vatikan setelah kunjungan terakhir berlangsung singkat pada 10 April 2025, saat Paus Fransiskus masih hidup. Dalam kesempatan ini, Raja dan Ratu Inggris itu menemui Paus Leo XIV yang menjadi suksesor Paus Fransiskus.

Pertemuan itu menorehkan sejarah baru pada Kamis, 23 Oktober 2025. Untuk pertama kalinya, seorang raja Inggris berdoa bersama Paus di depan umum sejak reformasi gereja pada abad ke-16.

Mengutip laman InStyle, Sabtu (25/10/2025), Ratu Camilla saat itu mengenakan gaun sutra hitam karya Fiona Clare dan hiasan kepala yang disebut mantilla dari Philip Treacy. Ia juga menambahkan dua aksesori penting untuk menghormati dua raja Inggris, yakni Raja Charles dan mendiang Ratu Elizabeth II.

Pertama dan paling disorot adalah bros berbentuk salib Georgia, bertahtakan topas dan berlian. Menurut The Daily Express, bros itu ditaksir bernilai USD 53 ribu, sekitar Rp881 juta. Bros tersebut milik Ratu Elizabeth II yang tak pernah dipakai mendiang di depan umum. Namun,  Camilla sering memakainya sebagai penghormatan kepada mendiang ratu yang wafat pada 2022.

Camilla memadukan bros itu dengan kalung mutiara bergaya Edwardian yang memiliki kaitan romantis dengan Charles, lapor Tatler. Kalung yang dilengkapi jepitan berlian sebelumnya dikenakan Camilla untuk foto ulang tahun pernikahannya yang ke-14 dengan Charles pada 2019, seperti yang terlihat dalam foto yang diambil oleh Alexi Lubomirski. Ia juga mengenakan kalung tersebut ke Royal Ascot pada 2016 dan ke Pembukaan Parlemen Negara pada 2022.

Keputusan ratu untuk mengenakan pakaian hitam dinilai sebagai keputusan yang menarik karena mengikuti protokol kerajaan. Pasalnya, menurut tradisi, kaum perempuan saat bertemu Paus mengenakan gaun hitam sederhana berlengan dengan mantilla hitam.

Menurut Hello Magazine, mantilla adalah kerudung atau selendang renda atau sutra yang dikenakan di atas kepala. Tapi, aturan berpakaian hitam bisa dikecualikan untuk beberapa wanita bangsawan yang memiliki 'le privilège du blanc'.

Istilah itu bermakna 'hak istimewa orang kulit putih'. Itu merupakan tradisi Gereja Katolik yang mengizinkan ratu atau putri dari negara-negara Katolik untuk mengenakan pakaian putih saat audiensi dengan Paus. 

Hanya tujuh wanita kerajaan yang diberikan hak istimewa ini, dan Camilla tidak termasuk di antara mereka. Mereka adalah Ratu Letizia dari Spanyol, Putri Charlene dari Monako, Ratu Mathilde dari Belgia, Grand Duchess Stephanie dari Luksemburg, dan Grand Duchess Maria Teresa dari Luksemburg, serta dua mantan ratu, Ratu Paolo dari Belgia dan Ratu Sofia dari Spanyol, menurut Hello.

Mengutip BBC, dilansir kanal Global Liputan6.com, Raja Charles dan istrinya, Ratu Camilla, bergabung dengan Paus Leo XIV dalam sebuah kebaktian di bawah langit-langit Kapel Sistina yang dihiasi fresco karya Michelangelo. Di tempat itu, pada Mei 2025, Paus Leo XIV terpilih sebagai paus pertama asal Amerika Serikat yang memimpin 1,4 miliar umat Katolik di seluruh dunia.

Momen doa bersama Raja Charles III (76) dan Paus Leo dipandang sebagai langkah simbolis menuju rekonsiliasi antara Gereja Katolik dan Gereja Anglikan. Momen ini merupakan yang pertama sejak masa Henry VIII, ketika sang raja memutus hubungan dengan Roma pada Abad ke-16 dan melahirkan Gereja Inggris dengan monarki sebagai pemimpinnya.

Kunjungan kenegaraan ke Vatikan ini berlangsung pada masa yang sensitif bagi Raja Charles III setelah saudaranya, Pangeran Andrew, sepakat untuk melepaskan gelar Duke of York menyusul namanya kerap dikaitkan dengan mendiang Jeffrey Epstein, pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur yang telah divonis bersalah.

Kebaktian di Kapel Sistina yang memadukan unsur Katolik dan Anglikan diawali dengan doa Bapa Kami dalam bahasa Inggris. Lagu-lagu rohani dinyanyikan oleh paduan suara Kapel Sistina bersama dua paduan suara kerajaan Inggris yang diundang sebagai tamu: paduan suara Kapel St George dari Kastil Windsor dan paduan suara anak-anak dari Chapel Royal di Istana St James.

Namun, kebaktian tersebut juga dikritik. Seorang pendeta Protestan terkemuka asal Irlandia Utara mengatakan bahwa Raja Charles III seharusnya turun takhta jika berdoa bersama paus.

Kyle Paisley, pendeta dari Gereja Presbiterian Merdeka sekaligus putra dari mendiang politikus unionis Ian Paisley senior, menyampaikan kepada BBC bahwa tindakan tersebut berpotensi melanggar sumpah raja untuk menegakkan iman Protestan. "Iman Protestan, secara historis dan teologis, benar-benar berbeda dari Katolik. Saya sama sekali tidak mengerti bagaimana dia bisa terlibat dalam bentuk ibadah bersama seperti itu," ujarnya seperti dikutip dari The Guardian.

Lembaga Independent Loyal Orange Institution, organisasi Protestan konservatif yang menegaskan dukungannya agar Irlandia Utara tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris, turut menyatakan keprihatinan mendalam terhadap kebaktian tersebut.