Pameran Spesial 2 Abad Perang Diponegoro di Galeri Nasional, Tampilkan Ragam Karya Menggelitik Nalar

4 days ago 12

Liputan6.com, Jakarta - Siapa sih yang tak tahu dengan Perang Diponegoro? Cerita tentang peperangan yang dipimpin pahlawan nasional keturunan bangsawan untuk melawan Belanda setelah patok tanahnya diganggu mampu menembus generasi. Tak terasa, usia sejarahnya menginjak dua abad pada tahun ini.

Menyambut HUT ke-80 RI, Galeri Nasional Indonesia dengan sengaja menampilkan sosoknya sebagai inspirasi utama para seniman Indonesia dalam pameran berjudul NYALA: 200 Tahun Perang Diponegoro. Total 33 karya dari 26 perupa yang mayoritas muda ditampilkan di ruang pamer utama galeri yang baru selesai direvitalisasi pada tahun lalu.

Jangan bayangkan karya yang ditampilkan monoton. Para seniman Indonesia nyatanya punya pendekatan kreatif dalam memaknai sosok Diponegoro dan menuangkannya lewat karya seni kontemporer. Bahkan kerapkali, hasilnya menggelitik nalar pengunjung sebagai sesama anak bangsa.

Salah satu yang menarik perhatian adalah karya Yosef Arizal berjudul The Cock (2025). Sarung-sarung tangan kulit berbagai ukuran, sebagian dipasangi kerincingan, ditata berderet dan digantung ke langit-langit. Di dinding bawah tertulis penjelasan tentang mereka yang pantas disebut 'de Kock', nama salah satu Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menetap di Batavia.

Cerita Diponegoro dan Bahasa Ayam

Putra Hidayatullah, salah seorang kurator pameran tersebut, menerangkan bahwa sang seniman mencoba memahami Pangeran Diponegoro dari aspek bahasa yang digunakan selama hidupnya. Berdasarkan riset, diketahui bahwa VOC menggunakan bahasa Melayu saat berbicara dengan orang-orang di Nusantara.

"Itu dinilai tidak punya sopan santun oleh Pangeran Diponegoro yang berbahasa Jawa, karena di Jawa, ada hierarki dalam berbahasa," kata Putra ditemui di Jakarta, Senin, 21 Juli 2025.

Lewat karya itu, kata Putra, seniman mengajak pengunjung untuk merenungkan tentang mental kolonial yang secara sadar ataupun tidak masih tertanam pada mental sebagian orang Indonesia. "Jangan-jangan apa yang diwariskan itu bisa jadi pola yang mengakar," katanya.

Lain lagi pendekatan yang dilakukan oleh Aliansyah Caniago lewat karya berjudul Kartu Kontra-Sejarah (2025). Seni menjadi lebih hidup karena dibuat interaktif lewat permainan mencocokkan kata. Pada meja diletakkan setumpuk kartu berwarna hitam dan berwarna putih yang melambangkan sebagai Diponegoro dan de Kock.

"Merasakan interaksi kalau Pangeran Diponegoro berkomunikasi dengan Jenderal de Kock itu kira-kira seperti apa ya," kata Putra.

Menghadirkan Kebaruan tentang Sosok Pangeran Diponegoro

Pameran itu dipersiapkan kurang lebih enam bulan. Dalam kurun waktu tersebut, Putra dan dua rekan kurator lainnya, Citra Smara Dewi dan Dio Pamola Chandra, menyeleksi perupa yang akan diajak serta dari berbagai daerah lewat arsip karya mereka sebelumnya.

Setelah profil perupa ditentukan, kurator mendekati perupa untuk mengajak mereka membuat atau memamerkan karya sesuai tema besar. Kriteria yang terpilih adalah mereka yang menawarkan suara baru dalam memaknai sosok Diponegoro. Putra dan kawan-kawan tak ingin mereka terkungkung pada sejarah hapalan, tetapi karya mereka diharapkan memberi pengetahuan baru kepada masyarakat.

"Kita enggak ingin seniman jadi ilustrator. Kita kasih ruang seniman untuk menuangkan kegelisan atau pertanyaan mereka dan bawa pengetahun baru yang publik belum akrab," kata Putra.

Maka, bahasan terkait makanan, bahasa, hingga mimpi Diponegoro mampu melahirkan seni kontemporer yang menggelitik dan menonjol. Lewat karya yang dipajang, mereka tidak memberi jawaban tapi lebih mengajak pengunjung berefleksi diri lewat pertanyaan-pertanyaan reflektif.

"Kita ingin publik melihat sejarah sebagai sesuatu yang sudah berlalu, tapi sejarah itu hidup. Sejarah bukan jadi narasi tunggal tapi dirayakan dalam kehidupan masa kini," imbuhnya.

Tiket Masuk Pameran NYALA

Direktur Eksekutif Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya, Esti Nurjadin menyatakan bahwa setelah dua abad perlawanan Diponegoro, warisannya tidak pernah berhenti. Sosoknya dinilai tak pernah selesai ditafsirkan.

"Museum dan Cagar Budaya melihat pentingnya ruang semacam ini untuk memperkaya dialog antara warisan budaya, seni rupa dan identitas bangsa. Harapannya masyarakat dapat melihat relevansi narasi sejarah Nusantara dengan situasi kita saat ini," kata Esti. 

Pameran 'NYALA: 200 Tahun Perang Diponegoro' yang digelar di Gedung A Galeri Nasional Indonesia dapat dinikmati pengunjung setiap hari mulai 22 Juli hingga 15 September 2025, pukul 09.00--19.00 WIB, kecuali hari libur nasional. Pengunjung dapat meregistrasi dan membeli tiket secara online via Traveloka. Biayanya:

  • Anak (3-12 tahun) Rp25 ribu
  • Dewasa (13-60 tahun) Rp50 ribu
  • Warga Negara Asing Rp100 ribu
  • Anak usia kurang dari 3 tahun dan dewasa lebih dari 60 tahun Rp0,-.

Harga tiket ini berlaku untuk menikmati seluruh pameran yang sedang berlangsung, termasuk Pameran Tetap Galeri Nasional Indonesia dan Pameran Kids Biennale Indonesia 2025: Tumbuh Tanpa Takut.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |