Cerita Perempuan Papua dalam Rantai Pasok Parfum Dunia Disorot Media Asing

7 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, industri parfum telah menyaksikan lonjakan inovasi yang beragam. Merek-merek lokal dan global bersaing menghadirkan wewangian yang unik dan eksotis untuk menyenangkan konsumen. Tren ini mendorong para ahli parfum menjelajahi berbagai penjuru dunia untuk mencari bahan-bahan alami yang langka dan berkualitas tinggi.

Di balik aroma menawan dari parfum kelas dunia ini, terdapat kisah panjang tentang perjalanan bahan baku alami dari berbagai belahan dunia, termasuk Asia Tenggara. Pala, yang telah digunakan sebagai pelengkap hidangan, berpotensi besar untuk menciptakan aroma yang kompleks dan memikat di dunia parfum.

Di Indonesia, lapor The Nation, Kamis, 8 Mei 2025, panen pala tradisional di wilayah Papua adalah kegiatan yang melibatkan semua anggota keluarga. Namun, peran perempuan dalam proses pascapanen cenderung dominan. Mereka bertanggung jawab mengumpulkan buah pala yang jatuh dari pohon, memisahkan daging dari biji, dan mengeringkan pala.

Salah satunya adalah Mama Siti, seorang petani pala berusia 52 tahun dan anggota dewan koperasi yang dipimpin perempuan pribumi di Papua Barat. Keterampilan dan ketekunannya memimpin perempuan dalam mengolah pala jadi produk yang siap dipasarkan adalah kunci keberhasilan produksi pala berkualitas tinggi.

Bagi masyarakat adat Papua Barat, pohon pala melambangkan kehidupan, catat media asing itu. Dianggap sebagai "perwujudan perempuan," pohon pala memainkan peran penting dalam mendukung masyarakat, dan tabu yang ketat melarang penebangan pohon-pohon ini. Rasa hormat yang mendalam terhadap pohon pala telah mengarah pada tradisi unik seputar panennya, yang mencerminkan hubungan berkelanjutan masyarakat dengan alam.

Dilindungi Kearifan Lokal

Dua bulan sebelum musim panen, masyarakat adat serempat berkumpul untuk berdiskusi, atau wow dalam bahasa lokal. Selama waktu ini, mereka mengadakan upacara di mana mereka secara simbolis "mendandani" pohon pala dengan kebaya, pakaian tradisional yang biasanya dikenakan perempuan Indonesia.

Ini adalah tanda bahwa tidak ada yang diizinkan memanen pala muda, yang disebut sebagai "kera-kera." Pohon-pohon "ditelanjangi" tepat sebelum panen, memungkinkan masyarakat mulai memanen pala. Setelah panen, tanah dibiarkan pulih secara alami.

Mama Siti menjelaskan, "Pohon pala di hutan Dusun Pala, Desa Pangwadar, Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat sudah berlimpah, jadi tugas laki-laki biasanya hanya memanjat pohon untuk memetik buah yang matang. Untuk pengolahannya, sejauh ini, 118 perempuan terlibat membersihkan buah pala, memisahkan daging dari bijinya, kemudian mengeringkannya di bawah sinar matahari."

Sayangnya, harga jual pala yang rendah dan siklus panen yang hanya terjadi dua kali setahun, menyulitkan banyak petani mencari nafkah. Banyak dari mereka hanya memiliki pekerjaan musiman dan berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

"Harga pala sering berfluktuasi dan tidak dapat diprediksi, tergantung musim. Ketika harga turun, pendapatan dari pala hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah musim panen berakhir, banyak dari kami dipaksa berganti pekerjaan untuk menghidupi keluarga kami," tambah Mama Siti.

"Pohon pala Tomandin bukan hanya pohon bagi kami. Ini adalah warisan dari nenek moyang kami, diturunkan dari generasi ke generasi untuk memberi kami kehidupan. Saya hanya bisa mengatakan bahwa pala Tomandin adalah keajaiban bagi kami."

Meningkatkan Nilai Tambah Pala

Di tengah tantangan ini, Kaleka, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada lanskap Indonesia, memulai sebuah inisiatif yang disebut Wewowo Lestari. Program ini bertujuan meningkatkan nilai tambah pala Papua sambil melestarikan lingkungan.

Melalui berbagai pelatihan dan bimbingan, petani perempuan diajarkan teknik pengolahan pala yang lebih baik. Asisten Dewan Eksekutif Kaleka Venticia Hukom mengatakan, "Kami berusaha memberdayakan petani dengan memberi pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas panen secara efisien. Ini dilakukan dengan menerapkan SOP yang baik di setiap tahap produksi, mulai dari pengumpulan buah hingga pengeringan pala menggunakan pengering surya, yang pada akhirnya menghasilkan peningkatan pendapatan penjualan pala sebesar 13–40 persen."

Peran Kaleka tidak berhenti pada peningkatan kualitas produk, tapi juga berusaha untuk membuka pasar yang lebih luas. Perusahaan ini secara aktif bekerja sama dengan laboratorium Asosiasi Prancis Francaise des Dieteticiens Nutritionnistes (AFDN) untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pala mengembangkan prototipe produk parfum yang akan diserahkan pada perusahaan parfum terkenal, seperti Hermes dan Chanel.

"Orang-orang biasanya mengabaikan pala Papua karena tingkat ekstraksi minyaknya yang sangat rendah, tapi penelitian intensif kami telah menghasilkan peningkatan tingkat ekstraksi minyak pala Papua dari 1 persen jadi 3,5 persen, sehingga dapat dikembangkan jadi produk turunan lainnya seperti parfum dan kosmetik," jelas Venticia.

Kontribusi Positif terhadap Lingkungan

Keberhasilan temuan penelitian lanjutan ini membuktikan bahwa dengan manajemen yang tepat, pala Papua berpotensi besar untuk bersaing di pasar internasional. Kaleka aktif berkomunikasi dengan banyak perusahaan untuk memperluas jangkauan produk olahan pala dan mengakses pasar lebih luas sehingga dapat menjadi produk berkualitas yang dapat diekspor dan bersaing di arena internasional.

Inisiatif Wewowo Lestari tidak hanya meningkatkan pendapatan petani, tapi juga bermaksud berkontribusi positif bagi lingkungan. Melalui Koperasi Mery Tora Qpohi, sebuah entitas bisnis yang didirikan oleh dan untuk petani pala, petani memperoleh tambahan 11–40 persen pendapatan tergantung pada jenis dan kualitas pala yang dijual. Pendapatan ini secara signifikan lebih tinggi daripada yang diterima petani saat menjual pala pada tengkulak.

Kabupaten Fakfak di Papua Barat, rumah bagi 908.850 hektare hutan, adalah tempat sekitar 26.927 masyarakat adat bergantung pada 56 pohon pala per hektare hutan untuk mata pencaharian mereka. Kaleka telah didedikasikan untuk keberlanjutan pala selama hampir delapan tahun.

Mama Siti berkata, "Dengan menerapkan kebijaksanaan lokal dalam pengolahan pala yang berkelanjutan, kami dapat mempertahankan mata pencaharian yang stabil tanpa harus mengorbankan lingkungan dan memberikan insentif bagi kami untuk selalu melestarikan hutan sehingga kami tidak bergantung pada industri ekstraktif yang merusak hutan."

Selain itu, pemanfaatan semua bagian pala, termasuk kulit dan biji-bijian, mereka bisa memproduksi produk turunan F&B baru, seperti sirup dan permen, untuk supermarket dan kafe di Fakfak, serta produk kosmetik, seperti minyak esensial. "Saat ini, kami telah menjual sekitar 500 botol jus buah yang terbuat dari bubur pala yang seharusnya dibiarkan membusuk di bawah pohon pala," Mama Siti menjelaskan.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |