Liputan6.com, Jakarta - Penertiban bangunan bermasalah di kawasan Puncak Bogor, Jawa Barat masih terus dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) . Kali ini KLH meminta kepada 13 bangunan dan tempat usaha di kawasan Puncak untuk melakukan pembongkaran mandiri sebagai bagian dari sanksi administratif paksaan pemerintah.
Menurut Deputi Bidang Penegakan Hukum (Gakkum) KLH Rizal Irawan, pihaknya menjatuhkan sanksi administratif paksaan pemerintah terhadap 13 pelaku usaha dan kegiatan tanpa dokumen dan persetujuan lingkungan di Puncak, Kabupaten Bogor, yang menjalin Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2.
"Dari 33 KSO, ada 13 yang kita berikan sanksi administratif karena tidak punya perling (persetujuan lingkungan) dan juga usaha berkontribusi terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan," kata Rizal Irawan dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Sanksi administratif paksaan pemerintah itu mewajibkan para pelaku usaha yang ada di wilayah Puncak untuk menghentikan kegiatan mereka di lokasi paling lama tiga hari sejak pengeluaran surat. Bukan itu saja, mereka juga diminta untuk melakukan pembongkaran sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut dalam waktu 30 hari serta melakukan rehabilitasi lahan dengan penanaman kembali dalam waktu 180 hari.
"Untuk jenis tanamannya kita tidak tentukan, yang penting bisa menyerap banyak air. Ya mungkin tanaman yang biasa ditanam di daerah itu," ujar Rizal.
"Kami mengeluarkan sanksi ini salah satunya adalah berupa pembongkaran, kita memberikan waktu untuk melakukan secara mandiri terhadap 13 tenant yang KSO dengan PTPN 1 Regional 2," sambungnya.
Menunggu Pencabutan Persetujuan Lingkungan
Pihak yang diminta melakukan paksaan pemerintah itu adalah CV Mega Karya Anugrah, PT Banyu Agung Perkasa, PT Tiara Agro Jaya, PT Taman Safari Indonesia, CV Sakawayana Sakti, PT Pelangi Asset International, PT Farm Nature dan Rainbow, CV Al-Ataar, PT Panorama Haruman Sentosa, PT Bobobox Adet Manajemen, PT Prabu Sinar Abadi, CV Regi Putra Mandiri, dan Juan Felix Tampubolon.
"Yang punya Taman Safar itu lokasinya tidak jadi satu dengan kawasan wisatanya, tapi terpisah dan hanya tempat untuk menyimpan makanan atau pakan untuk hewan. Semacam gudang makanan. Kalau yang punya pak Juan Felix itu juga tidak besar hanya sekitar satu hektare. Itu dijadikan perkebunan dan ada bangunan beberapa saung," jelas Rizal.
Rizal menambahkan, KLH juga masih menunggu pencabutan persetujuan lingkungan yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk 9 KSO.Terkait perintah pembongkaran mandiri, dia membuka ruang bagi pihak-pihak tersebut jika ingin melewati proses peradilan jika keberatan dengan sanksi tersebut.
"Paksaan pemerintah wajib dilaksanakan terhitung sejak tanggal diterima keputusan, dalam hal paksaan pemerintah tidak dilaksanakan maka penanggung jawab usaha atau kegiatan diancam pemberatan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," terangnya.
Sanksi Administrasi dari KLH
KLH mengeluarkan sanksi administrasi paksaan pemerintah tersebut setelah pemeriksaan ketaatan pengelolaan lingkungan hidup PTPN I Regional 2, dimana ditemukan KSO di wilayah tersebut hanya 160 hektare yang memiliki izin, Sedangkan fakta di lapangan ada 350 hektare lahan yang telah atau akan dimanfaatkan.
Tidak hanya ditemukan terjadi penambahan lahan melebihi yang di dalam dokumen perizinan, Gakkum KLH juga menemukan penambahan jenis kegiatan yang berdampak pada kemampuan wilayah sebagai daerah tangkapan dan penyerapan air. Perubahan peruntukan kawasan itu berpotensi menjadi salah satu faktor banjir yang terjadi baru-baru ini di wilayah tersebut.
Pada Maret lalu, Bobobox menyatakan bahwa Bobocabin Gunung Mas di Puncak, Bogor, akan mematuhi rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) setelah plang pengawasan didirikan di properti tersebut pada 13 Maret 2025. Meski begitu, pihaknya tetap akan mengoperasikan akomodasi berwujud glamping tersebut selama proses pengawasan berlangsung.
"Selama proses ini berlangsung, operasional Bobocabin Gunung Mas tetap berjalan seperti biasa. Bobobox juga akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk memastikan operasional Bobobox selaras dengan prinsip keberlanjutan dan regulasi yang berlaku," kata Antonius Bong, co-founder dan Presiden Bobobox dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Selasa, 18 Maret 2025.
Melengkapi Berbagai Perizinan
Antonius menyatakan bahwa sejak plang pengawasan dipasang, pihaknya terus berkomunikasi dengan pihak KLH, Kementerian Pariwisata, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2 untuk membangun kesepahaman dan berkoordinasi dengan regulator, mitra, dan Bobobox sebagai operator. Namun, pihaknya menekankan telah melengkapi berbagai perizinan sesuai ketentuan yang berlaku sejak mereka beroperasi pada 2022.
Ia juga menyatakan bahwa sejak awal mencitrakan diri sebagai akomodasi yang menerapkan prinsip pariwisata berkelanjutan, setiap tahap pembangunan kabin dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan ekosistem sekitar. Kabin dibangun dengan prinsip modularitas dan konsep prefabrikasi yang tidak menggunakan alat berat dan tenaga konstruksi yang ekstensif.
"Selain itu, rasio lahan yang digunakan untuk pembangunan kabin sangat minim sehingga sebagian besar area tetap dalam kondisi alami dan memungkinkan air hujan terserap dengan optimal ke dalam tanah," kata Antonius.
"Bobobox juga memastikan kepatuhan terhadap Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dengan membatasi jumlah unit di Bobocabin Gunung Mas hingga 30 kabin, demi menjaga kenyamanan tamu serta menghindari kepadatan jumlah pengunjung dalam satu waktu," imbuhnya.