Waspada Ancaman Kebakaran Lahan pada 2025, Ada 142 Titik Panas dan 97 Titik Api

9 hours ago 9

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup (MenLH), Hanif Faisol Nurofiq, menyebut bahwa ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah ada di depan mata. Merujuk prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ia menyebut, suhu lebih panas, yang berpotensi menyebabkan karhutla, akan dimulai pada akhir April 2025.

"Jadi dari akhir April, Mei, Juni, Juli, Agustus, sampai September, itu rawan (karhutla)," kata dia di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, 17 April 2025. Sementara risiko kebakaran hutan diantisipasi Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memperhitungkan kemungkinan kebakaran lahan.

Hanif memaparkan, ada 142 titik panas dan 97 titik api di Indonesia pada 1 Januari sampai 16 April 2025, berdasarkan satelit Terra dan Aqua NASA. "Angka hotspot kita relatif kecil dibandingkan tahun lalu, berkurang hampir 80,22 persen jika dibandingkan dengan periode bulan atau jumlah hari yang sama pada 2024," ujarnya.

Titik panas dan titik api yang tercatat pada 2025 berada di Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimatan Barat, dan Kalimanan Tengah. Berdasarkan pengolahan data pada 2015─2024, terdapat lima penyebab kebakaran lahan. Pertama, kebakaran lahan berkaitan dengan penyiapan tanaman pertanian maupun perkebunan.

"Persiapan lahan sudah dilakukan sebagian besar masyarakat di daerah-daerah yang memiliki hutan. Ini menunggu (cuaca) panas untuk dibakar sehingga perlu kehati-hatian (agar tidak menyebabkan kebakaran lahan)," sebut MenLH.

Kedua, kejadian karhutla berulang dominan terjadi di lahan konflik, idleland, dan absenteei. "(Kebakaran lahan) di Sumatra Selatan dan Jambi, misalnya, itu selalu berulang-ulang di daerah tersebut karena ada konflik. Kemudian, idleland banyak dijumpai di Kalimantan."

Apa Penyebab Kebakaran Lahan?

Aktivitas ilegal di lokasi open access, serta penyebaran kebakaran dari lokasi lain pun diidentifikasi MenLH sebagai penyebab kebakaran lahan. "Area gambut yang pada musim kering sangat mudah terbakar," imbuhnya, menyebut Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sumatra sebagai titik rawan.

Masih kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap bahaya kebakaran lahan, bahkan menganggap membakar lahan sebagai budaya, jadi sebab lainnya. Hanif menjelaskan, "Di undang-undang kita, baik di Undang-Undang Kehutanan maupun Undang-Undang Perkebunan, pembakaran lahan (seluas) dua hektare masih diakui."

"Tapi, di lapangan sebenarnya perlu perhatian karena luasan ini kadang-kadang tidak bisa kita kendalikan," imbuhnya. Terakhir, kebakaran hutan disebut terjadi karena tingkat respons dan partisipasi penanganan kebakaran lahan di tingkat tapak masih sangat rendah.

Ini terjadi karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), minim peralatan, kesulitan akses, tidak tersedianya air, dan keterbatasan pendanaan. Di antara banyak, MenLH menyoroti kerentanan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yang luasnya hampir mencapai 17 hektare, terhadap kebakaran lahan.

Lahan Perkebunan Sawit di 15 Provinsi

Hanif berkata, berdasarkan olah data kebakaran lahan periode 2015─2024, tercatat lebih dari 42 ribu hektare lahan perkebunan sawit yang dikelola 79 perusahaan terbakar. "Luas kebakaran lahannya bervariasi, mulai dari puluhan hingga ribuan hektare," katanya.

Maka itu, pemilik bisnis perkebunan kelapa sawit harus memaksimalkan upaya pencegahan kebakaran lahan, sebut dia. Ada 15 provinsi lokasi perkebunan kelapa sawit yang harus diawasi, termasuk Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Berkulu, serta Bangka Blitung.

Juga, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua. Hanif menyebut, pihaknya akan melakukan koordinasi langsung di lapangan terkait pencegahan kebakaran hutan di 15 provinsi tersebut.

"Untuk Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, teman-teman GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), mohon disediakan waktu minggu depan atau akhir April ini untuk kita langsung berkoordinasi di lapangan," kata MenLH, seraya menambahkan bahwa kunjungan lapangan itu akan berlanjut.

Daerah-Daerah yang Kebakaran Lahannya Cenderung Luas

Hanif menyambung, "Pada daerah-daerah yang kebakarannya cenderung luas, seperti Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, saya sangat harapkan ada konsolidasi lebih ketat." Ia menyebut, pihaknya bisa mengenakan sanski bila peralatan dan sumber daya perusahaan dalam mengantisipasi maupun nantinya menangani kebakaran lahan ternyata tidak lengkap.

Tuntutan akibat kelalaian sejumlah perusahaan berakibat kebakaran lahan, kata dia, "cukup besar." "Ada hampir (Rp)19 triliun sampai hari ini tuntutan karhutla yang sedang kami kejar, dan itu belum semuanya kami tuntut," ia menambahkan. "Tidak dituntut bukan karena lagi santai-santai, tapi karena sedang kami dalami."

Tuntutannya, sebut MenLH, dilakukan secara perdata maupun pidana. Proses tuntutannya pun tidak sebentar, merujuk pada beberapa kasus yang sudah diproses selama bertahun-tahun, apa sih kendalanya?

Hanif menjawab, "Ada satu perusahaan, tuntutannya (Rp)16 triliun, tapi mereka memailitkan diri. Angkanya (tuntutan hukum) cukup tinggi karena kebakarannya itu tahun 2016 di Riau dan berdampak luas." 

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |