Tren Mode 2026: Modest Fashion Makin Inklusif, Keberlanjutan Lingkungan Makin Diprioritaskan

2 days ago 15

Liputan6.com, Jakarta - Industri mode bersiap menyambut tren fesyen 2026. Salah satunya pergeseran paradigma tentang modest fashion yang kini tak lagi sekadar simbol religius, melainkan gaya hidup inklusif yang menuntut etika lingkungan.

Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) menegaskan bahwa isu keberlanjutan (sustainability) akan menjadi tulang punggung tren masa depan, sejalan dengan tuntutan pasar global yang semakin kritis terhadap transparansi produk. Pemerintah kini agresif mendorong jenama lokal memahami regulasi ekspor demi menembus pasar internasional.

Direktur Fashion Kemenparekraf, Romi Astuti, menyoroti urgensi daur ulang dalam industri ini. "Tren fashion ya itu tadi kecenderungan untuk recycle fashion. Fashion yang sustainable, yang ramah lingkungan," ujar Romi kepada Lifestyle Liputan6.com di Jakarta, Selasa, 9 Desember 2025.

Ia menyebut pergeseran sudut pandang itu bukan hanya di tingkat lokal. "Itu yang akan diangkat ya dan memang itu jadi isu global sebetulnya," tegasnya.

Pergeseran paradigma itu dinilai membuka peluang ekspor modest fashion yang lebih luas. Resky Noviana, pendiri Anantari, menjelaskan bahwa pasar kini melihat kesopanan secara universal.

"Modest itu bukan baju muslim tapi baju yang sopan. Nah itu kan sebenarnya salah satu produk kami," ujarnya. 

Resky juga melihat potensi besar bagi konsumen non-hijab. "Mereka enggak pakai jilbab tapi tetap tertutup, ibaratnya seperti itu. Jadi kalau menurut saya sih menarik untuk tren ke depan," tambahnya.

Senada dengan itu, Wakil Ekonomi Kreatif (Wamenekraf) Irene Umar menekankan bahwa mode busana pada dasarnya adalah pakaian yang sopan dan semua orang benar-benar memakainya. "Singapura, Malaysia, Brunei itu melihatnya ke Indonesia jika ingin melihat the latest trend." 

Material Alam dan Prinsip Zero Waste Dikedepankan

Memasuki 2026, estetika visual tak lagi menjadi satu-satunya tolak ukur kemewahan. Fokus industri beralih pada material ramah lingkungan dan proses produksi minim limbah (zero waste). 

Penggunaan serat sintetis mulai ditinggalkan demi serat alam yang biodegradable, serta pewarnaan alami yang menjaga ekosistem. Kesadaran ini memicu lahirnya conscious fashion dengan konsumen lebih menghargai asal-usul dan dampak ekologis dari pakaian yang mereka kenakan.

"Masyarakat Indonesia saat ini sudah melihat adanya tren berkesadaran. Kalau milih baju tentunya yang lebih ada keberpihakan kepada lokalitas. Ke depan masyarakat kita akan jauh lebih appreciate koleksi-koleksi yang dari bahan serat alami," kata Melie Indarto, pendiri jenama KaIND.

Di sisi produksi, efisiensi bahan menjadi kunci. Resky Noviana dari Anantari menerapkan teknik desain berbasis pola untuk mencegah sampah tekstil. "Dari desain itu kita muncul pola. Dari pola itu muncullah motif, nanti jadi baru dibatik," jelas Resky. Ia menekankan presisi pemotongan, "Jadi nanti pas di-cut itu dia enggak ada perca yang dibuang." 

Sementara itu, Brilianto berinovasi dengan mengolah limbah sisa produksi. "Di semester yang kedua biasanya sudah mulai mix antara kain utuh dan juga limbahnya," kata Brilianto. Ia bahkan menegaskan komitmen totalnya, "Di semester yang ketiga kita benar-benar murni menggunakan limbahnya yang dibuat menjadi produk yang baru lagi."

Fungsionalitas dan Konsep ‘Basic with a Twist’ Era Mode Timeless

Tren 2026 juga menandai berakhirnya era fast fashion yang boros. Konsumen kini memburu busana timeless yang fungsional dan mudah dipadupadankan (mix and match). Itu yang diusung Herman, pendiri AlRAFI, dalam merancang produknya agar kompatibel dengan isi lemari konsumen.

"Kalau kamu beli satu produk kita, kita yakin kamu bawa pulang kamu akan menemukan pasangannya di lemari kamu," tambahnya.

Konsep ‘Basic with a Twist’, busana dasar dengan sentuhan artistik unik, menjadi primadona karena menawarkan fleksibilitas pemakaian jangka panjang. Nilai sebuah pakaian kini diukur dari kemampuannya untuk digayakan ulang (restyling) dan diwariskan, bukan sekadar dipakai sekali lalu dibuang.

"Kenapa saya pilih konsep itu? Karena saya sendiri suka memakai baju diulang-ulang, di-restyling," ungkap Irma Sari dari Maima. 

Ia bahkan bangga melihat durabilitas produknya. "Kadang-kadang aku masih pakai baju koleksi aku yang kemarin-kemarin tapi dengan styling yang berbeda," ujarnya.

Sementara itu, desainer Rengganis menekankan pentingnya sentuhan tangan (craftsmanship) sebagai nilai tambah. "Produknya bisa dilihat di sini cukup simpel secara siluet," kata Rengganis. Namun, ia menonjolkan detailnya, "Kalau dilihat dari dekat tuh detailnya yang cukup menarik, dari segi bordir tangannya itu."

Filosofi Lokal untuk Pasar Internasional

Jenama Indonesia semakin percaya diri membawa wastra nusantara ke panggung dunia dengan kemasan modern dan inklusif. Strategi 2026 bukan lagi menjual tradisi secara kaku, melainkan mengadaptasi filosofi lokal ke dalam desain kontemporer yang relevan secara global.

Itu pula yang diterapkan Farida dari Batik Widayati dalam menciptakan motif baru untuk tahun depan. "Ini adalah tren kami di 2025.. inspirasinya vertical garden," jelas Farida. 

Ia menyisipkan pesan filosofis dalam karyanya. "Kami ingin menceritakan bahwa perempuan itu bisa tumbuh di mana aja dan dia bisa tampil di mana pun dia berada," tuturnya.

Di sektor kerajinan kulit, Luthfi Muhammad dari Astiga Leather fokus pada pemberdayaan komunitas lokal. "Astiga Leather meningkatkan craftmanship. Kita juga dibantu oleh sekitar 18 pengrajin, penjahit semuanya warga sekitar," jelas Luthfi. 

Ia menjamin kontrol kualitas ketat, "Mulai proses dari bahan baku sampai bahan jadi langsung di tempat yang sama."

Sementara itu, Nabella dari GloeShoes membidik pasar ekspor lewat produk alas kaki inklusif. Ia melihat peluang pada kebutuhan spesifik yang sering diabaikan. "Terutama untuk mereka yang mempunyai kaki khusus seperti kaki yang adanya bunion atau kaki tinggi sebelah, panjang sebelah," ucapnya.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |