Pandawara Siapkan Strategi Patungan Beli Hutan Pasca-Banjir Sumatera, Bakal Direalisasikan pada 2026

2 days ago 14

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu lalu, Pandawara melontarkan ajakan patungan beli hutan lewat akun media sosial mereka, merespons kondisi rusaknya lingkungan yang menyebabkan banjir bandang Sumatera. "Lagi ngelamun, tiba-tiba aja kepikiran gimana kalau masyarakat Indonesia bersatu berdonasi beli hutan-hutan agar tidak dialihfungsikan," bunyi unggahan kelompok aktivis lingkungan itu pada 4 Desember 2025.

Ajakan itu dengan segera direspons banyak pihak. Tak sedikit artis yang melontarkan nominal yang akan disumbangkan untuk inisiatif tersebut, seperti Denny Sumargo yang menyatakan akan berdonasi Rp1 miliar. Begitu pula dengan penyanyi dangdut Denny Caknan.

Namun, ide tersebut belakangan dikritisi sejumlah pihak, termasuk Walhi, dengan menyatakan bahwa hutan tidak bisa diperjualbelikan. Menanggapi hal itu, Pandawara menyatakan pada pendiriannya untuk tetap menjalankan rencana 'membeli hutan' agar tidak dialihfungsikan pada 2026.

"Proses wakaf hutan bisa kita lakukan bersama untuk mencegah deforestasi berlebih agar keseimbangan hutan tetap terjaga," tutur Gilang Rahma dalam video yang diunggah pada 8 Desember 2025.

Meski begitu, pihaknya tak ingin gegabah. Untuk merealisasikannya, ia dan kawan-kawannya kini sedang mempersiapkan rencana dengan matang.

"Kami pun akan melibatkan dan mengajak banyak pihak untuk merealisasikan rencana ini, seperti para senior kami di dunia aktivis lingkungan ataupun para tokoh-tokoh yang mengerti tentang pemanfaatan dan pelestarian hutan," ujarnya. Akun Walhi, Greenpeace, Hutan Wakaf Bogor, hingga Chanee Kalaweit, pendiri Yayasan Kalaweit, ikut ditampilkan.

Bagaimana Aturan Membeli Hutan di Indonesia?

Gilang mewakili kawan-kawannya meminta doa agar rencana itu bisa diwujudkan demi kebaikan dan kesejahteraan bangsa. Namun, ia menekankan prosesnya harus dilakukan dengan baik dan benar.

Lalu, bagaimana sebenarnya aturan main dalam jual beli hutan? Mengutip kanal News Liputan6.com, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono menegaskan, praktik jual beli hutan bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Dia merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.

Rafiq juga mengutip UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mempertegas bahwa seluruh kawasan hutan dalam wilayah Indonesia berada di bawah penguasaan negara. Alih fungsi dan kepemilikan hutan tidak bisa dilakukan sembarangan, karena menyangkut kepentingan publik dan kelestarian lingkungan.

"Ini dasar konstitusional yang menjadi pemahaman hutan bukan milik private yang bisa diperjualbelikan," kata Rafiq, Rabu malam, 10 Desember 2025.

Solusi Paling Realistis untuk Selamatkan Hutan

Rafiq menyatakan solusi paling realistis saat ini adalah memperkuat pengelolaan berbasis rakyat melalui skema legal yang sudah ada seperti Hutan Adat, Hutan Desa, dan Hutan Rakyat. Ia mengatakan, langkah konkret bisa dimulai dari mendukung pengakuan wilayah adat, memperkuat komunitas penjaga hutan, mengurus legalitas lahan, hingga menekan negara menghentikan ekspansi industri ekstraktif.

Namun, jika di tengah upaya tersebut pemerintah masih gagal mengelola hutan agar tetap lestari, jual beli menjadi satu-satunya opsi penyelamatan. Rakyat harus mengambil alih hutan.

"Bila negara gagal mengelola hutan, maka kami siap mendukung ajakan ini dalam bentuk apa pun, selama hutannya tidak dikuasai secara private dan dikembalikan pada kelola rakyat," ujarnya.

Manajer Advokasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana menambahkan, kepemilikan terhadap kawasan hutan di Indonesia secara hukum memang tidak dimungkinkan. Sistem yang berlaku saat ini hanya memberikan hak kelola, bukan hak milik atas hutan. Hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.

60 Persen Lahan Hutan Dikuasai Izin Konsesi daripada Izin Restorasi

Wahyu menyatakan aturan tentang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) menegaskan bahwa negara tetap menjadi pemilik hutan dan hanya memberi izin kelola kepada pihak tertentu. Hak kelola hutan itu, sambung dia, bisa diperjuangkan rakyat dengan salah satunya mengelurakan izin restorasi ekosistem.

Hanya saja, menurut Wahyu, lebih dari 60 persen kawasan hutan saat ini telah dikuasai izin konsesi. "Kalau dilihat dari karakter kerusakan berdasar luasan yang cukup kuat konsesi kayu di kawasan hutan atau PBPH dan sawit HGU (Hak Guna Usaha). Itu menjadi cukup dominan," katanya.

Wahyu menegaskan, Kementerian Kehutanan serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus bertanggung jawab atas masifnya pemberian izin pengelolaan hutan kepada korporasi. Menurutnya, izin di kawasan hutan kerap diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan, sementara izin perkebunan skala besar diteken oleh Kementerian Agraria.

Belum lagi, terjadi pelemahan tata kelola hutan secara sistematis oleh pemerintah, terutama setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK). Aturan minimal 30 persen luas hutan wajib dipertahankan berdasarkan wilayah provinsi dan daerah aliran sungai yang tercantum di aturan sebelumnya, ditiadakan di UU CK.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |