Melihat Hasil Foto Instax di Tangan 35 Kreator Seni Lintas Bidang

12 hours ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Bekerja sama dengan penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Pear Press, Fujifilm Indonesia menerbitkan artbook berjudul "Instaxnesia: A Nation of Creative Expression." Buku ini merupakan hasil kolaborasi medium fotografi instan alias instax dan 35 kreator seni lintas bidang dari seluruh Indonesia.

Ini adalah proyek perdana Fujifilm Corporation dalam seni buku. Dengan sampul memikat berwarna merah muda dan biru, buku setebal 200 halaman ini jadi bentuk penghormatan terhadap semangat kolaborasi seni lintas bidang.

Direktur Utama Fujifilm Indonesia, Masato Yamamoto, mengatakan bahwa kolaborasi ini adalah bagian dari semangat Fujifilm mempertemukan para pemakai kamera foto Instax. "Di Fujifilm, tujuan kami sederhana, ingin memberi senyuman, karena itu mulai dari produk, layanan, hingga cara berinteraksi dengan masyarakat, (kami lakukan) lewat ide dan kreativitas," ungkapnya di acara peluncuran di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.

Karya-karya yang ditampilkan dalam buku ini terbagi ke dalam empat kategori utama. Pertama, Pekerja Visual, yang menampilkan karya dari seniman, seperti Wastana Haikal, Karin Josephine, dan Hana Madness.

Kedua, kategori Karangan dan Pertunjukan yang diwakili kreator seni, seperti Lala Bohang, Miyu, dan sutradara Gina S. Noer. Ketiga, kategori bidang Bebunyian dan Musik, yang menghadirkan kontribusi dari Ifa Fachir, Suneater, Laze, dan sejumlah musisi lain. Untuk kategori keempat, Platform dan Kolektif, menampilkan karya TacTic Plastic, Grafis Nusantara, Special Hub Indo, serta berbagai kolektif kreatif lainnya.

Instax Sebagai Medium Ekspresi Kreatif

Koleksi foto dalam buku Instaxnesia menangkap beragam cerita kreatif dari para kreator Indonesia, menggunakan keajaiban kamera instan yang mampu mengabadikan momen dengan cepat. Tak hanya itu, di dalamnya pun terdapat upaya eksperimen untuk mengeksplorasi pesona kreatif Indonesia yang unik.

Masato mengungkap, Instax bukan sekadar produk fotografi instan, melainkan jembatan yang menghubungkan manusia dengan budaya dan komunitas. Dengan lebih dari 100 juta unit Instax terjual secara global, ia menyebut, medium ini telah jadi bagian dari ekspresi kreatif berbagai kalangan.

Dia menjelaskan, peluncuran buku Instaxnesia juga jadi bagian dari program tanggung jawab sosial (CSR) Fujifilm Indonesia. Seluruh keuntungan dari penjualan buku akan disumbangkan pada tujuh panti asuhan di berbagai daerah di Indonesia untuk menyediakan perlengkapan pendidikan dan kebutuhan pokok bagi anak-anak.

Buku Instaxnesia telah digarap sejak 2023. Saat itu, Fujifilm Indonesia mengajukan kerja sama pada penerbit untuk membuat buku tentang Instax yang melibatkan pelaku dan komunitas seni kreatif di Indonesia. 

Kurasi Kreator yang Terlibat

Saat memilih para kreator dan seniman yang terlibat dalam buku Instaxnesia, ada beberapa kriteria yang diajukan, seperti memiliki prestasi baik di tingkat nasional ataupun internasional, mewakili suatu komunitas atau gerakan, serta punya semangat inklusivitas.

Berbeda dari artbook lain, Instaxnesia adalah hasil kolektif banyak seniman dan komunitas lintas bidang seni, sehingga menawarkan perspektif yang beragam untuk pembaca. Titelnya, Instaxnesia: A Nation of Creative Expression, dipilih untuk mewakili beragam ekspresi kreatif dan budaya di dalam buku tersebut.

Meski tidak melambangkan kebudayaan tradisional, karya-karya para seniman dan kreator dalam buku tersebut memiliki corak, ekspresi, dan kreativitas yang beragam dari berbagai daerah di Indonesia. Buku ini telah diterbitkan dan dijual di toko-toko buku, seperti Gramedia, sejak 7 Maret 2025 seharga Rp280 ribu.

Beberapa kreator yang terlibat pun diundang di acara peluncuran. Salah satunya Hana Alfikih, atau lebih dikenal dengan nama Hana Madness, seorang seniman visual yang tinggal di Jakarta. "Sebagian besar karya seni saya mewakili pengalaman kesehatan mental, yang pada akhirnya jadi inspirasi utama dan sumber tantangan," katanya. 

Instax Merekam Momen Abadi

Kreator lain yang diajak berkolaborasi adalah Ayu Larasati. Ia adalah seniman keramik yang lahir di Indonesia dan pindah ke Toronto, Kanada, untuk belajar Desain Industri di Ontario College of Art and Design (OCAD University).

Ayu bekerja beberapa tahun sebagai desainer produk di sebuah perusahaan desain dan manufaktur di Toronto. Saat itu, keramik dan tembikar menarik minatnya, dan ia mulai membuat benda-benda keramik di apartemennya.

Pada akhir 2014, ia mendirikan studio rumah di Jakarta, yang memproduksi sejumlah perlengkapan rumah tangga fungsional untuk kebutuhan sehari-hari. Ayu juga aktif terlibat dalam komunitas kreator. la mengajar, berbagi ilmu, dan mempromosikan proses pembuatan benda keramik.

"Saya ingin menyoroti beberapa hal yang diambil dari tugas sehari-hari yang tampaknya biasa-biasa saja. Bersama tim, kami membuat keramik setiap hari di studio," ceritanya. 

Menurutnya, penting untuk selalu mengingat setiap perjalanan sebagai cara menghargai hari-hari yang berlalu, yang tampaknya tidak penting. Karena itu, ia merekam momen-momen perjalanannya membuat keramik melalui kamera Instax yang tercetak di dalam artbook kolaborasi ini. 

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |