Liputan6.com, Jakarta - Selama ini perempuan lebih sering menjadi korban pelecehan seksual maupun kekerasan seksual. Namun perubahan sosial serta perkembangan zaman ke arah digital, menguak fakta bahwa kaum hawa juga bisa jadi pelaku pelecehan.
Sosiolog dari Universtas Udayana Bali, I Gusti Ngurah Agung Krisna Aditya S.Sos., M.A, mengatakan bahwa perempuan yang biasanya diposisikan tersubordinasi atau sekunder, kini bisa berada di posisi sebagai pelaku pelecehan. Salah satunya karena perempuan kini lebih berani berekspresi memperlihatkan ketertarikannya dalam hal seksualitas.
Adanya perubahan digitalisasi juga menjadikan segala sesuatunya lebih terbuka dan terekspos. Keberanian perempuan dalam menunjukkan ketertarikannya dengan lawan jenis menjadi fenomena yang juga terlihat biasa.
Hal ini terlihat juga dari maraknya fandom idola Kpop yang didominasi perempuan. Kembali lagi, menurut pria yang masih menjadi dosen di Prodi Sosiologi, adanya fandom ini merupakan bentuk luapan ekspresi kekaguman fisik terkait seksualitas.
Namun luapan emosi ini bisa saja justru mengarah pada pelecehan seksual, baik itu langsung maupun di ranah digital dengan ungkapan kata-kata di kolom komentar. "Cara perempuan melihat batasan apakah perilakunya mengarah pada pelecehan seksual dengan laki-laki pun berbeda," ungkap Krisna, melalui pesan suara kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 18 April 2025.
Laki-laki biasanya melakukan cat calling, panggilan-panggilan yang mengarah pada pelecehan atau dalam cara melihat seorang perempuan yang menarik secara visual dan langsung menyentuh. Tapi perempuan dalam mengagumi idolanya secara berlebihan biasanya sekadar menuliskan komentar-komentar soal fisik sang idola atau sosok laki-laki yang menarik di matanya.
Bisa Jadi Hanya Bentuk Ekspresi Seksualitas
Bagi kebanyakan perempuan, tindakan dalam berkomentar di media sosial yang menuliskan kata-kata seperti memuja idolanya, bukan bermaksud untuk melecehkan. Dalam kasus idola-idola yang secara visual menarik mata perempuan karena menunjukkan maskulinitasnya,
"Mungkin ia tidak menyadari bahwa itu suatu bentuk pelecehan, tetapi ini bisa dikatakan sebagai ekspresi emosional sebagai perempuan yang menyukai seseorang apakah lawan jenis apabila menjadi idolanya sendiri di media sosial," jelas Krisna.
Ia menyambung, bahwa dengan menggunakan aspek seksualitas idolanya, tidak hanya memberikan kesenangan, tapi perempuan menjadikannya sebagai bentuk luapan emosional. Berbeda dengan laki-laki yang membutuhkan adanya visualisasi yang cukup vulgar yang bisa ditunjukkan dengan sisi seksualitas perempuan di media sosial, perempuan bisa tertarik kepada sosok laki-laki dari sisi lain meskipun berpakaian tertutup atau sopan.
"Ada pula perempuan yang tidak membutuhkannya (visual yang terbuka), namun sudah dapat membayangkan seksualitas (seorang laki-laki)," imbuhnya.
Tidak Lazim di Budaya Timur
Luapan ekspresi ini menurut Gusti, normal terjadi karena sex merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. "Salah satunya dengan visual, perempuan memang belum banyak atau tidak lazim karena budaya di Timur sendiri, perempuan tidak berani secara terang-terangan mengungkapkan sebagai pemuasan seksual," jelasnya.
Gusti mengatakan, ia pun tidak bisa menjelaskan bagaimana bentuk stimulus laki-laki yang bisa membuat seorang perempuan mendapatkan rangsangan seksual. "Apakah dari tubuh atletis, baju yang rapih dan sangat matching, itu bukan bisualisasi yang gamblang sisi seksualitas seorang laki-laki. Tapi bagaimana seorang laki-laki menunjukkan aspek maskulinitasnya yang barangkali menggugah bagi para perempuan untuk memiliki fantasi," paparnya.
Hingga akhirnya yang dilakukan para perempuan ini adalah menuliskan komentar yang tidak lazim seperti "Rahimku hangat buatmu," yang sudah masuk pada kategori pelecehan seksual. Niatan untuk melakukan seksualitas sudah masuk dalam kategori pelecehan, dibanding yang dilakukan laki-laki dengan cat calling maupun menyentuh.