Liputan6.com, Jakarta - Ibu kota Finlandia, Helsinki, kembali menempati peringkat pertama dalam indeks Global Destination Sustainability (GDS). Itu adalah peringkat tahunan internasional yang menggunakan 60 indikator berbeda untuk menilai destinasi wisata paling berkelanjutan di dunia.
Melansir Euronews, Selasa, 30 September 2025, kota itu menonjol karena komitmennya terhadap strategi pariwisata yang ramah lingkungan, termasuk manajemen tujuan wisata, rantai pasok berkelanjutan, keberlanjutan sosial, dan performa lingkungan.
Guy Bigwood, CEO GDS-Movement, menyatakan, "Helsinki terus meningkatkan standar dengan mendefinisikan 'praktik berikutnya' dalam manajemen destinasi regeneratif. Melalui aksi iklim yang berani, strategi keberlanjutan yang inovatif, dan komitmen teguh terhadap transparansi, kota ini menunjukkan visi yang luar biasa."
Helsinki mengimplementasikan berbagai proyek berkelanjutan, seperti secara aktif mengukur jejak karbon dari sektor pariwisata, mempromosikan peta jalan iklim terkait wisata, serta mendukung bisnis pariwisata agar dapat beralih menuju praktik berkelanjutan. Kesejahteraan dan partisipasi warga juga menjadi fokus utama dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Nina Vesterinen, Direktur Pariwisata Helsinki, menyatakan, "Kami mempromosikan pariwisata dengan mempertimbangkan semua aspek keberlanjutan, mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif."
Kolaborasi Berbagai Pihak
Semua upaya itu, kata dia, bertujuan agar Helsinki menjadi tempat yang lebih baik ketika pengunjung meninggalkan kota dibandingkan sebelum mereka datang. Keberhasilan strategi itu juga didukung oleh kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk perusahaan dengan sertifikasi lingkungan serta produksi listrik dan pemanasan distrik yang lebih ramah iklim.
Vesterinen menambahkan, "Hingga 99 persen kamar hotel dengan lebih dari 50 kamar di Helsinki telah memiliki sertifikasi lingkungan. Tingkat ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata Eropa. Demikian pula, semakin banyak destinasi, fasilitas pertemuan dan konferensi, operator tur, dan pihak lain yang memiliki sertifikasi lingkungan."
Keberlanjutan Helsinki juga mendapat pengakuan internasional melalui sertifikasi Green Destinations, menjadi kota pertama dengan lebih dari setengah juta penduduk yang memperoleh sertifikasi tersebut. Sertifikasi ini diakui Global Sustainable Tourism Council (GSTC) sebagai bukti independen upaya, pencapaian, dan posisi kota dalam menjaga lingkungan, masyarakat, dan budaya.
Pentingnya Transparansi dan Dukungan Wisatawan
Vesterinen menekankan pentingnya transparansi dalam praktik berkelanjutan, "Bagi Helsinki, sangat penting bahwa keberlanjutan bersifat transparan. Keberlanjutan harus lebih dari sekadar greenwashing tingkat pemasaran, yang sudah diatur oleh legislasi Uni Eropa yang mengharuskan klaim lingkungan dapat dipercaya dan diverifikasi."
Tahun 2025 menjadi rekor bagi pariwisata Helsinki, dengan peningkatan 19 persen jumlah malam yang dihabiskan wisatawan internasional dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Permintaan wisatawan yang semakin sadar dampak pariwisata terhadap lingkungan dan komunitas lokal menjadi pendorong strategi ini.
Vesterinen menegaskan, "Sebagian besar wisatawan internasional yang mengunjungi kota ini tiba melalui kapal atau pesawat, dan kami mengakui dampak iklim dari hal tersebut. Karena itu, kami bertujuan untuk menarik semakin banyak wisatawan dari Finlandia dan wilayah Eropa terdekat."
Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia
Sementara Helsinki berhasil menerapkan berbagai strategi berkelanjutan, Indonesia masih bergelut mengatasi tantangan dalam membangun pariwisata yang ramah lingkungan. Menurut Asisten Deputi Pariwisata Berkelanjutan Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Amnu Fuadiy, saat ini terdapat dua tantangan utama dalam membangun ekosistem pariwisata berkelanjutan di Indonesia.
Tantangan pertama adalah, "Paradigma penerapan isu keberlanjutan di sektor industri itu dianggap sebagai cost, sesuatu yang membutuhkan biaya. Di beberapa tahap awal memang butuh biaya dan investasi, tapi secara jangka panjang, itu justru membuka peluang yang sangat besar."
Tantangan kedua berkaitan dengan kesadaran masyarakat, "Banyak orang merasa bahwa ketika di hotel, karena dia sudah membayar, dia bisa ganti handuk seenaknya, mengambil makanan banyak, tapi tidak dihabiskan, bisa berboros-boros air, padahal tindakan itu tidak berkelanjutan."
Amnu kemudian menekankan pentingnya edukasi dan kampanye, "Maka itu, kita perlu kampanye masif untuk mengubah mindset bahwa meski sudah mengeluarkan uang untuk leisure, untuk menikmati kenyamanan di hotel, di restoran, kita tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan."