Liputan6.com, Jakarta - Pariwisata ramah Muslim kini telah jadi salah satu layanan tambahan di sederet destinasi, baik dalam maupun luar negeri. Fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia membuat kebiasaan melancong mereka krusial dipahami dalam konteks ini.
Maka itu, Vero bersama GMO-Z.com Research melakukan survei kuantitatif online terhadap 509 Muslim Indonesia berusia 18–45+ untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi keputusan liburan mereka. Salah satu temuannya adalah wisatawan Muslim Indonesia lebih sering bepergian dengan keluarga.
"Sebagian besar liburan setidaknya sekali atau dua kali setahun (35 persen), dengan seperempat bepergian tiga kali atau lebih dalam setahun. Perjalanan juga sebagian besar dilakukan dengan keluarga (60 persen) atau dengan pasangan (19 persen), mencerminkan preferensi budaya yang kuat untuk berbagi pengalaman. Sebaliknya, sekitar 1 dari 10 pelancong Muslim lebih suka bepergian sendiri," kata Executive Account Director Vero, Diah A. Dewi, di Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis, 25 September 2025.
Tidak Hanya Negara Mayoritas Muslim
Sementara destinasi mayoritas Muslim, seperti Malaysia dan Arab Saudi, telah lama jadi tujuan utama bagi orang Indonesia, negara didominasi non-Muslim, seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, juga menarik sejumlah besar wisatawan Muslim, sambung Diah.
"Menariknya, banyak yang terbuka untuk pergi, terlepas dari ketersediaan layanan halal, memberi peluang bagi tujuan non-Muslim untuk meningkatkan inklusivitas dan daya tarik mereka," ujarnya. Studi itu juga menemukan bahwa ketersediaan makanan halal muncul sebagai faktor paling penting dalam pemilihan tujuan, dengan 89 persen responden menempatkannya di atas belanja, keamanan, dan waktu luang.
"Harga ternyata tidak terlalu jadi soal. Wisatawan rela membayar sedikit lebih mahal untuk makanan halal," sebut Diah. Tercatat, 60 persen wisatawan siap membayar premi untuk layanan halal.
Merangkul Teknologi Digital
"Kami juga menemukan bahwa wisatawan Muslim merangkul teknologi digital. Tujuh puluh persen responden menggunakan aplikasi atau platform perjalanan halal, dengan 46 persen mengidentifikasi sebagai pengguna reguler. Selain itu, 89 persen mengikuti influencer perjalanan halal atau pembuat konten, menggarisbawahi peran media digital dalam membentuk perilaku perjalanan," Diah menjelaskan.
"Wisatawan Muslim Indonesia cenderung merencanakan perjalanan mereka di sekitar periode liburan panjang, terutama selama liburan sekolah di bulan Juli dan Agustus, serta perayaan nasional, seperti Idulfitri, Natal, dan Tahun Baru. Periode-periode ini sejalan dengan lonjakan paling signifikan dalam minat online terkait perjalanan."
Selain makanan, akomodasi dan hotel jadi landasan pengalaman perjalanan halal, dengan total 7.456.100 pencarian. Nilai akomodasi ini sangat terletak pada penyediaan hal-hal penting, seperti fasilitas keagamaan (dicari 1,5 juta kali), menyediakan tidak hanya tempat yang nyaman, tapi juga "ruang salat."
Hotel yang Ramah Muslim
Wisatawan Muslim mencatat pentingnya hotel dengan indikator arah Kiblat, musala, serta fasilitas wudhu yang bersih dan mudah diakses. Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Hariyanto, menekankan bahwa menjadikan pariwisata halal sebagai prioritas nasional dan regional tidak hanya akan memperkuat aspek budaya dan agama, tapi juga membuka peluang ekonomi yang signifikan.
Konsep pariwisata ramah Muslim, kata dia, bukan sekadar menyediakan layanan dasar, tapi menghadirkan fasilitas dan layanan tambahan yang mendukung kebutuhan wisatawan Muslim. "Menjadi halal-friendly bukan sekadar soal label, melainkan pengalaman yang dirasakan wisatawan," ujarnya.
"Di Indonesia, kebijakan sertifikasi halal dan infrastruktur ramah muslim sudah jadi standar. Namun, kami menyadari, ekspektasi wisatawan terus berkembang, sehingga kami harus terus berinovasi melalui layanan lebih baik, kemitraan lebih kuat, serta pengembangan destinasi wisata ramah Muslim."