Perlukah Smartwatch untuk Menunjang Kesehatan Tubuh? Simak Penjelasan Ahli

1 day ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, tren kesehatan semakin beragam, terutama olahraga. Meskipun terbilang sederhana, lari maraton menjadi salah satu yang populer dan tampak efektif untuk mendukung semangat olahraga masyarakat.

Sementara itu, maraton juga menggeser gaya hidup masyarakat sehingga mereka lebih peka terhadap tren. Hal ini terlihat dari banyaknya orang yang membeli alat penunjang olahraga seperti sepatu, baju, bahkan smartwatch.

Para pelari biasanya menggunakan smartwatch untuk mendeteksi detak jantung dan jumlah langkah kaki. Namun, apakah jam tangan pintar ini benar-benar diperlukan saat olahraga?

Melansir BBC pada Selasa, 16 Desember 2025, setiap model smartwatch memiliki caranya sendiri untuk mendeteksi tanda-tanda vital. Menurut profesor dari University of Manchester, Niels Peek, fungsi smartwatch ini sebenarnya dapat menyelamatkan nyawa seseorang.

Dengan sensor di bagian belakang, jam tangan ini mampu mendeteksi penyakit sebelum tubuh menunjukkan gejala apapun. Alhasil, sebagian besar masyarakat yang menggunakan smartwatch menjadi pribadi yang sensitif akan kesehatan dirinya.

Sensor smartwatch biasanya dilakukan dengan lampu LED yang dapat memantau aliran darah dan denyut nadi. Di samping itu, smartwatch yang lebih canggih mampu mendeteksi perubahan arus listrik melalui kulit sehingga perangkat dapat menunjukkan tingkat stres penggunanya.

Perangkat yang Dapat Memantau Aktivitas Vaskular

Peek mengatakan, perangkat smartwatch dapat memeriksa elektrokardiogram (EKG) yang memastikan kesehatan jantung. Oleh karena itu, perangkat jam ini dapat mendeteksi fibrilasi atrium (AF) pada seseorang dengan memperlihatkan detak jantung yang abnormal.

Menurutnya, pemakaian jam tangan ini bukan memicu penyakit atau serangan jantung. Tetapi memberikan peringatan dini terhadap risiko stroke, pembekuan darah, atau masalah jantung lainnya di masa depan.

Di samping itu, penafsiran angka-angka pada smartwatch bisa jadi rumit bagi beberapa orang. Peek mengungkapkan kekhawatirannya jika fitur smartwatch semakin bertambah, masyarakat mungkin tidak bisa sepenuhnya memahami data yang ditampilkan.

Meningkatnya Kecemasan Pemakai Smartwatch

Kekhawatiran Peek disetujui oleh psikolog klinis dari AS, Lindsey Rosman. Ia diketahui telah meneliti terkait dampak teknologi yang dapat dikenakan sekelompok pasien kardiovaskular.

Meskipun bukan populasi umum, penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 20 persen pasien mengalami kecemasan. Sehingga pasien-pasien tersebut lebih sering bergantung pada sumber daya perawatan kesehatan.

Rosman melihat pola-pola yang terjadi pada pasiennya. Ketika mereka melihat angka di smartwatch, mereka menjadi khawatir. Selanjutnya, angka menjadi lebih tinggi karena detak jantung mereka meningkat. Pada akhirnya mereka jauh lebih cemas dan pola ini terus berulang.

Ia menggarisbawahi bahwa apapun yang dikhawatirkan, pasti akan menjadi kenyataan.

Smartwatch Bukan Alat Medis

Terlalu banyak fitur terkadang tidak selalu dapat diandalkan. Smartwatch yang hanya memaparkan sensor pada pergelangan tangan berpotensi tidak dapat menangkap semua data yang dibutuhkan. Sehingga keakuratan fungsinya kadang kala dipertanyakan.

Seorang dosen senior departemen olahraga di Manchester Metropolitan University, Kelly Bowden-Davies, mengatakan bahwa smartwatch tidak dapat dianggap sama seperti alat medis. Hal ini karena fungsinya yang tidak mengacu pada standar alat medis. Sehingga smartwatch hanya dapat memberikan keterangan dasar kesehatan diri sebagai acuan, bukan gambaran akurat.

Dengan menggunakan smartwatch, seseorang dapat mengetahui seberapa baik dirinya berolahraga. Perangkat ini bisa berguna untuk melacak seberapa cepat Anda berlari, berapa lama Anda tidur, atau berapa banyak kalori yang telah dibakar dalam tubuh. Untuk memantau kesehatan secara akurat, Anda tetap perlu pergi ke dokter dan menggunakan alat-alat medis yang sesuai.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |