Pakar IPB: Kerusakan Lingkungan Akibat Manusia Harusnya Paling Bisa Dikendalikan

6 days ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Risiko banjir dan tanah longsor terus meningkat di berbagai daerah Indonesia, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB University, prof Dodik Nurrochmat, menekankan perlunya kebijakan mitigasi yang benar-benar berbasis riset.

Menurut Dodik bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor adalah fenomena given yang tidak bisa ditolak, terutama akibat intensitas cuaca ekstrem. Namun, ia menegaskan bahwa risiko dampaknya masih bisa diminimalkan bila pemerintah dan daerah menerapkan langkah mitigasi yang tepat dan ilmiah.

Prof Dodik menjelaskan bahwa ada tiga faktor utama penyebab bencana yaitu cuaca ekstrem, kondisi geografis, serta kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia. Dua faktor pertama bersifat alami, tetapi faktor ketiga kerusakan lingkungan sebenarnya paling bisa dikendalikan melalui regulasi dan tata kelola yang benar.

“Yang dua faktor pertama itu kita mitigasi. Tapi yang ketiga, kita bisa kelola lewat regulasi dan tata kelola lingkungan. Kerusakan lingkungan karena manusia justru faktor yang paling bisa kita kendalikan,” kata Dodik di laman resmi IPB ditulis Minggu, 14 Desember 2025.

Riset Sudah Ada, Tapi Mengapa Tidak Jadi Kebijakan?

Ia menyoroti bahwa sejumlah riset terkait potensi banjir bandang dan longsor sudah tersedia sejak lama tapi belum diintegrasikan secara optimal ke dalam kebijakan. Hal inilah yang dinilainya menjadi celah besar dalam sistem mitigasi nasional.

“Di IPB sudah ada disertasi tahun 2020 yang memetakan potensi banjir bandang dan longsor di Aceh Tamiang dan wilayah lainnya. Secara ilmiah, semua sudah dihitung. Curah hujan, tutupan lahan, hingga risiko longsoran,” ujar Prof Dodik.

“Persoalannya, kenapa data ini belum digunakan sebagai dasar kebijakan?” ia mempertanyakan.

Dodik juga mengkritisi regulasi lingkungan yang masih terlalu umum seperti aturan jarak sempadan sungai 50–100 meter yang tidak sesuai dengan kondisi di wilayah hulu.

Ia menegaskan bahwa kebijakan harus berbasis sains dan mempertimbangkan karakteristik lokal, bukan hanya mengikuti aturan generik yang tidak relevan dengan kondisi lapangan

Banjir Aceh, Sumut dan Sumbar Momen untuk Perbaiki Sistem Mitigasi Nasional

Ia juga menyoroti pentingnya mengubah orientasi sanksi lingkungan. Menurutnya, denda besar tidak akan berarti jika tidak diikuti dengan pemulihan nyata di lapangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, pemulihan lingkungan seharusnya menjadi prioritas utama.

Ia berharap bahwa bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dapat menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem mitigasi nasional. 

Dengan mengandalkan riset ilmiah, early warning system, dan tata kelola lingkungan yang tepat, risiko bencana bisa ditekan secara signifikan.

“Bencana mungkin tidak bisa kita hindari, tapi risikonya bisa kita tekan. Dengan riset berbasis alam, early warning system, dan tata kelola yang benar, dampak bencana bisa kita kurangi,” tutup Dodik.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |