Liputan6.com, Jakarta - Maladewa resmi melarang warga Israel memasuki negaranya. Kebijakan ini merupakan bentuk protes negara mayoritas Muslim tersebut terhadap perang Israel di Gaza dan sebagai "solidaritas yang tegas" dengan rakyat Palestina.
Mengutip dari laman Middle East Eye, Rabu (16/4/2025), Presiden Mohamed Muizzu menandatangani undang-undang tersebut pada Senin, 14 April 2025, setelah disahkan oleh Majelis Rakyat, parlemen Maladewa. Kabinet Muizzu awalnya memutuskan untuk melarang semua pemegang paspor Israel dari negara kepulauan yang indah itu pada Juni 2024 hingga Israel menghentikan serangannya terhadap Palestina.
Namun, pembahasannya terhenti. Sebuah RUU diajukan pada Mei 2024 di parlemen Maladewa oleh Meekail Ahmed Naseem, seorang anggota parlemen dari oposisi utama, Partai Demokrat Maladewa, yang berupaya untuk mengubah Undang-Undang Imigrasi negara tersebut.
Kabinet kemudian memutuskan untuk mengubah undang-undang negara itu untuk melarang pemegang paspor Israel, termasuk warga negara ganda. Setelah beberapa amandemen, undang-undang itu disahkan minggu ini, lebih dari 300 hari kemudian.
"Pengesahan tersebut mencerminkan sikap tegas pemerintah dalam menanggapi kekejaman yang terus berlanjut dan tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina," kata kantor Muizzu dalam sebuah pernyataan.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan pada Minggu, 13 April 2025, bahwa sedikitnya 1.613 warga Palestina tewas sejak 18 Maret 2025, ketika gencatan senjata terkoyak. Jumlah korban tewas secara keseluruhan sejak perang Israel di Gaza dimulai pada Oktober 2023 menjadi 50.983 jiwa.
Ketegangan Maladewa dan Israel
"Maladewa menegaskan kembali solidaritasnya yang kuat dengan perjuangan Palestina," tambah pernyataan itu.
Tahun lalu, sebagai tanggapan atas pembicaraan tentang larangan tersebut, Kementerian Luar Negeri Israel menyarankan warganya untuk tidak bepergian ke negara itu. Maladewa adalah republik Islam yang terdiri dari 1.129 pulau.
Negara ini dianggap sebagai salah satu tujuan wisata pantai utama di dunia, yang terkenal dengan terumbu karang, pantai berpasir putih, dan laguna yang indah. Ini bukan pertama kalinya Maladewa mengeluarkan larangan perjalanan bagi warga Israel.
Maladewa mengakui Israel dan menjalin hubungan diplomatik setelah Israel menjadi negara ketiga yang mengakui negara kepulauan itu pada 1965. Sayangnya, pengakuan itu ditangguhkan pada 1974.
Larangan terhadap turis Israel dari era sebelumnya dicabut pada 1990-an, dan pada 2009, Maladewa dan Israel menandatangani beberapa perjanjian kerja sama untuk memperbaiki hubungan. Namun pada 2018, di bawah kepemimpinan baru, perjanjian tersebut diputus, dan kedua negara memiliki hubungan yang tidak harmonis sejak saat itu.
Maladewa Bekas Jajahan Inggris
Pada 2024, negara itu menerima hampir dua juta wisatawan, dengan lima kedatangan teratas dari Tiongkok, Italia, India, Rusia, dan Inggris. Sebagian besar kedatangan wisatawan berasal dari Eropa (54 persen), dan Asia dan Pasifik berada di posisi kedua dengan 35 persen dari seluruh kedatangan.
Menurut Kementerian Pariwisata Maladewa, 528 warga Israel mengunjungi negara itu pada kuartal pertama tahun 2024, turun 89 persen dari 4.644 pada kuartal pertama tahun 2023. Menurut data pemerintah, lebih dari 200.000 wisatawan mengunjungi Maladewa pada bulan Februari ini, 59 di antaranya adalah warga Israel.
Mengutip dari kanal Global Liputan6.com, 26 Juli 2024, Maladewa merdeka pada 26 Juli 1965. Negara kepulauan itu telah menghabiskan 77 tahun sebagai protektorat Inggris.
Dilansir The National, Jumat, 26 Juli 2024, sebuah perjanjian ditandatangani oleh Perdana Menteri Ibrahim Nasir dan Duta Besar Inggris Michael Walker atas nama Ratu Elizabeth membangun kembali kedaulatan penuh dan kemerdekaan politik negara tersebut. Maladewa kehilangan kemerdekaannya pada 1887 saat Sultan Muhammad Mueenuddeen II menandatangani perjanjian dengan Gubernur Inggris di Ceylon, Arthur Charles Hamilton-Gordon.
Perlindungan dari Inggris
Pada akhir 1800-an, perdagangan luar negeri di Maladewa didominasi oleh pedagang Borah dari India. Saat penduduk lokal memberontak melawan mereka, Kerajaan Inggris ikut terlibat karena suku Borah menjadi subyek mereka pada saat itu – yang menyebabkan meningkatnya kehadiran dan tekanan politik Inggris di Maladewa.
Perjanjian 1887 ditandatangani mengenai kedaulatan Maladewa dalam hal kebijakan luar negeri, mengubah Maladewa menjadi negara yang dilindungi Inggris, meskipun mereka tetap mempertahankan pemerintahan sendiri di dalam negeri. Inggris menjanjikan perlindungan militer sebagai imbalan atas penghormatan tahunan kepada kerajaan.
Inggris mempertahankan kehadirannya di Maladewa pada dekade-dekade selanjutnya, khususnya selama Perang Dunia Kedua, dan mendirikan RAF Gan, sebuah stasiun Angkatan Udara Kerajaan di pulau Gan, yang merupakan bagian dari kelompok pulau besar yang membentuk Maladewa.
Meskipun banyak orang yang berperan dalam gerakan kemerdekaan Maladewa, Ibrahim Nasir-lah yang dianggap oleh banyak orang sebagai pahlawan kemerdekaan Maladewa. Nasir – yang menjadi perdana menteri pada 1958 di usia 31 tahun – dikenal lantaran membantu mengembangkan sektor industri di negara tersebut.