[Kolom Pakar] Prof Raymond Tjandrawinata: Implikasi Amandemen Regulasi Kesehatan Internasional bagi Indonesia

5 days ago 17

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 menjadi momen di mana dunia terpaksa bercermin pada kelemahan yang selama ini tersembunyi. Regulasi Kesehatan Internasional, atau International Health Regulations (IHR) yang pada dasarnya adalah kerangka hukum internasional di bawah naungan Konstitusi WHO. IHR sudah ada sejak 1969 dengan tujuan sederhana: mengendalikan penyebaran lintas batas hanya tiga penyakit—kolera, pes, dan demam kuning.

Namun, seiring perkembangan penyakit menular, aturan itu dianggap terlalu sempit, hingga pada 2005 setelah merebaknya SARS, IHR direvisi besar-besaran agar mencakup semua ancaman kesehatan publik yang berpotensi lintas negara.

Revisi itu juga menetapkan kewajiban negara melapor kepada WHO dalam waktu cepat jika terjadi kejadian luar biasa. Ketika COVID-19 melanda, kelemahan IHR kembali tersingkap: aturan yang secara teori mengikat ternyata sulit ditegakkan, dan solidaritas global tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Negara kaya memilih jalan sendiri, berbagi data dilakukan tidak konsisten, dan distribusi vaksin menjadi cermin ketidakadilan. Dari pengalaman pahit inilah dorongan amandemen 2024 lahir.

IHR berlaku untuk 196 negara, pada dasarnya mencakup semua anggota WHO, menjadikannya salah satu instrumen hukum internasional yang nyaris universal. Keistimewaannya, berbeda dengan perjanjian internasional biasa yang membutuhkan ratifikasi legislatif, IHR diadopsi otomatis berdasarkan Pasal 21 Konstitusi WHO.

Amandemen mulai berlaku setelah disahkan oleh Majelis Kesehatan Dunia, kecuali negara mengajukan keberatan resmi dalam jangka waktu 12 bulan. Artinya, bagi Indonesia, tanpa proses panjang di DPR, aturan ini otomatis mengikat kecuali ditolak secara eksplisit.

Pemeliharaan dan pengawasan pelaksanaannya berada di tangan WHO, dengan mekanisme Focal Point di setiap negara serta struktur baru yang disebut Komite Negara Pihak. Dengan cara ini, WHO menjadi penjaga dan koordinator agar implementasi berjalan seragam.

Dari sisi positif, sistem ini memberi kepastian hukum internasional, memperkuat kesiapsiagaan, dan menegaskan solidaritas sebagai norma. Namun, sisi negatifnya juga nyata: potensi tekanan pada kedaulatan nasional, beban administratif dan fiskal, serta benturan dengan hukum domestik yang bisa menciptakan dilema politik.

Amandemen IHR bagi Indonesia, Tantangan Sekaligus Peluang

Bagi Indonesia, amandemen ini bukan sekadar aturan baru, melainkan tantangan sekaligus peluang. Sebagai negara kepulauan dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, dan sebagai titik rawan zoonosis karena keragaman hayati yang tinggi, Indonesia memikul tanggung jawab besar untuk meningkatkan kemampuan deteksi dan respons.

Pada saat yang sama, posisinya sebagai anggota G20 dan pemimpin di Selatan Global menempatkannya di tengah arus negosiasi yang menentukan arah masa depan tata kelola kesehatan dunia.

Amandemen ini menambahkan kategori darurat pandemi, memperkuat kewajiban membangun kapasitas, serta menekankan kesetaraan akses. Semua itu menuntut Indonesia menyesuaikan hukum domestik yang kini menekankan kedaulatan data dan sumber daya biologis dengan kewajiban berbagi cepat demi kepentingan global.

Sejarah kedaulatan kesehatan Indonesia menjelaskan sikap ini. Pada 2007, pemerintah menolak membagikan sampel flu burung H5N1 karena khawatir hanya akan dimanfaatkan industri farmasi asing tanpa memberi manfaat balik. Dari situlah istilah kedaulatan virus muncul, yang sampai hari ini mewarnai pandangan pemerintah terhadap tuntutan keterbukaan.

Undang-Undang Kesehatan 2023 yang mensyaratkan persetujuan presiden sebelum data atau sampel keluar negeri adalah refleksi dari pengalaman itu. Namun IHR yang diamandemen menghendaki kecepatan: laporan harus disampaikan dalam hitungan jam, bukan menunggu birokrasi panjang.

Ketegangan inilah yang menuntut kreativitas hukum, misalnya membuat mekanisme darurat yang tetap menjaga kedaulatan tetapi tidak menghambat kewajiban internasional. Gustav Radbruch pernah mengingatkan bahwa hukum yang terputus dari keadilan kehilangan maknanya; dalam kasus ini keadilan berarti melindungi warga dunia dari ancaman wabah sekaligus melindungi bangsa dari eksploitasi sumber daya.

Di balik perdebatan teknis ini tersembunyi persoalan filosofis tentang bagaimana negara memaknai keadilan dan solidaritas. John Rawls dengan tabir ketidaktahuannya mengajarkan bahwa aturan adil lahir ketika orang tidak tahu posisi mereka. Jika negara maju menempatkan diri di balik tabir itu, mereka akan merasakan betapa rapuhnya posisi negara berkembang ketika akses vaksin ditentukan pasar.

Hans Kelsen menekankan bahwa kepastian hukum adalah syarat tatanan internasional. Amandemen IHR adalah wujud dari keinginan itu: memperjelas kewajiban, menetapkan prosedur, dan memberi legitimasi hukum yang mengikat. Tetapi kepastian hukum tanpa keberanian politik tidak cukup.

Memadukan Dua Hal

Indonesia perlu memadukan dua hal: kepastian hukum melalui penyelarasan regulasi, dan keberanian politik melalui investasi nyata pada sistem kesehatan.Pengalaman vaksinasi COVID-19 memperlihatkan kerentanan ini dengan jelas. Indonesia harus menunggu lebih lama karena pasokan didominasi negara kaya.Bergantung pada COVAX dan donasi internasional menempatkan posisi tawar negara pada titik lemah.

Baru setelah produksi meningkat, vaksin meluas, dan Indonesia bisa mengejar cakupan. Pelajaran dari sini sederhana: tanpa aturan global yang memaksa kesetaraan, ketidakadilan akan berulang. Amandemen IHR yang menekankan distribusi adil menjadi perisai normatif, meski tetap harus diikuti pendanaan global agar tidak berhenti sebagai janji.

Dalam negeri, agenda transformasi kesehatan menjadi pijakan penting. Enam pilar reformasi diarahkan untuk memperkuat layanan primer, rujukan, SDM, teknologi, dan ketahanan. Namun penghapusan alokasi minimal anggaran kesehatan menimbulkan risiko.

Di masa krisis fiskal, kesehatan bisa kembali tersisih. Padahal kajian global menunjukkan setiap rupiah yang ditanam dalam kesiapsiagaan mampu menghemat belasan kali lipat kerugian di masa depan. Di sinilah IHR berfungsi bukan hanya sebagai aturan global, tetapi juga alat politik domestik untuk menjaga kesehatan tetap menjadi prioritas.

Dimensi geopolitik menambah lapisan kompleksitas. Negara maju menuntut keterbukaan penuh, negara berkembang menekankan pembagian manfaat. Indonesia pernah ada di dua sisi: menolak berbagi sampel demi kedaulatan sekaligus mengalami ketertinggalan vaksin. Dengan pengalaman ini, Indonesia bisa menjadi jembatan, mendorong mekanisme yang menggabungkan transparansi dengan keadilan.

Perdebatan tentang Perjanjian Pandemi memberi ruang bagi Indonesia untuk memperjuangkan sistem formal Akses dan Pembagian Manfaat Patogen, sehingga berbagi data tidak lagi dilihat sebagai kerugian tetapi sebagai kontrak global yang adil.

Data Genom dan Sampel Biologis adalah Bentuk Kekuasaan Baru.

Foucault pernah menunjukkan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Dalam kesehatan global, data genom dan sampel biologis adalah bentuk kekuasaan baru. Siapa yang menguasainya bisa menentukan arah riset dan pasar farmasi. Indonesia perlu waspada agar tidak hanya menjadi penyedia data, tetapi juga memperoleh manfaat. Namun menutup diri juga berbahaya.

Tantangannya adalah menafsirkan kedaulatan bukan sebagai penghalang, melainkan posisi tawar dalam kerja sama. Hukum internasional di bawah payung Konstitusi WHO memberi kerangka, tetapi interpretasi nasional akan menentukan hasilnya.

Proyeksi ke depan menghadirkan dua jalan. Jika Indonesia berhasil menyelaraskan hukum domestik, memperkuat kapasitas, dan memainkan diplomasi aktif, ia akan diakui sebagai pemimpin yang mampu menyeimbangkan tanggung jawab nasional dan solidaritas global. Tetapi jika gagal, terjebak dalam birokrasi atau terlalu defensif, konsekuensinya adalah keterlambatan respons, melemahnya posisi tawar, dan rusaknya reputasi.

Dalam krisis kesehatan, keterlambatan sekecil apa pun bisa berarti ribuan nyawa hilang. Karena itu, pilihan Indonesia hari ini akan bergema jauh ke depan.Pandemi mengajarkan bahwa ancaman kesehatan bukan hanya soal medis, melainkan ujian solidaritas manusia. Indonesia berada di titik unik: besar, rentan, tetapi juga berkapasitas. Amandemen IHR 2024 menawarkan kerangka untuk bergerak dari paradigma kedaulatan sempit menuju solidaritas yang mengakui saling ketergantungan.

Kedaulatan sejati tidak lagi berarti berjalan sendiri, melainkan berdiri kokoh sambil membuka tangan untuk bekerja sama. Jika Indonesia mampu memadukan reformasi hukum, investasi kesehatan, dan diplomasi berani, maka bukan hanya rakyat Indonesia yang terlindungi, melainkan dunia juga akan melihat teladan bahwa di tengah ancaman global, tidak ada bangsa yang benar-benar berdiri sendiri.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |